Mohon tunggu...
Abdul Rojak
Abdul Rojak Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah hiburan, menulis adalah pelepasan ide dan gagasan

ABDUL ROJAK, tinggal di Depok, Jawa Barat, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bibit, Bebet, Bobot

15 Oktober 2010   06:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:24 7011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada seorang anak sebut saja namanya Maria, bapaknya seorang kulit hitam sedangkan ibunya kulit putih, dan jadilah Maria blasteran, tidak hitam juga tidak putih. Ada seorang anak sebut saja namanya Dimas, bapaknya berkulit coklat gelap mendekati hitam, sedangkan ibunya putih bersih dan jadinya Dimas mengikuti genetic bapaknya yang berkulit coklat gelap mendekati hitam. Sedangkan kakak perempuannya, Deta lahir dengan kulit putih bersih. Ada seorang anak sebut saja namanya Hasan, bapaknya cerdas berpendidikan tinggi, sedangkan ibunya memiliki kemampuan rata-rata dan biasa, pendidikannya pun hanya tingkat menengah, jadilah Hasan memiliki kemampuan yang juga sama seperti ibunya, sedangkan kakaknya Husein mengikuti genetic bapaknya. Dan banyak lagi contoh turunan genetic yang semuanya bermuara pada satu pepatah, “Buah pasti jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Bagaimana dengan anda sendiri ? mengikuti genetic Bapak atau Ibu ? Istilah ini bibit, bebet dan bobot dalam bahasa Jawa , menyatakan bahwa apabila seseorang ingin menikah maka dari pasangannya ia harus melihat visi tersebut. Secara maknawi, arti bibit yaitu rupa (harafiah: asal-usul, keturunan). Arti bebet adalah keluarga, lingkungan, dengan siapa teman-temannya. Arti bobot adalah nilai pribadi/diri yang bersangkutan, disini termasuk kepribadian, pendidikan dan kepintarannya, pekerjaan juga nilai pribadi seperti gaya hidup dan IMAN. Dalam tradisi masyarakat Jawa yang melestarikan pencarian jodoh untuk anaknya dengan visi Bibit, Bebet dan Bobot, sesunguhnya merupakan kelanjutan dari budaya Hindu yang mengklasifikasikan masyarakat dengan system Kasta. Dimana dalam system kasta berlaku ketentuan bahwa, masing-masing kasta hanya boleh bergaul dan menikah dengan sesama kasta. Walaupun pada awalnya system Kasta dalam budaya hindu diperuntukan sebagai pemisahan profesi, namun hal tersebut pun berimbas pada pemilihan jodoh dan jenis keturunan yang akan melanjutkan kasta tersebut. Maka lazim dalam masing-masing kasta itu mereka hanya “bercampur” dengan sesama kastanya, dan tidak boleh melompat antar kasta. Kalaupun ada lompatan kasta biasanya hanya terjadi pada dua teratas dan dua terbawah, misalnya kasta Ksatria (raja/pemimpin negara, aparatur negara, prajurit/angkatan bersenjata) dengan Brahmana (Rsi, Pedanda, Pendeta, Pastur, Kyai dan pemuka-pemuka agama lainnya, Dokter, Ilmuwan, Guru dan profesi yang sejenis dapat digolongkan kedalam Varna Brahmana). Sedangkan kasta Waisya (pedagang, petani, nelayan, pengusaha, dan sejenisnya) dengan Sudra (pembantu rumah tangga, buruh angkat barang, tukang becak dan sejenisnya). Dan menurut para analis sejarah itu diberlakukan oleh bangsa Arya agar dua kasta teratas (berasal dari Ras Arya) tidak bercampur dengan dua kasta terbawah (Ras Dravida). Sekilas memang budaya ini seperti memarjinalkan satu manusia dengan manusia yang lain, tapi kalau kita ambil sisi positif dengan visi Bibit, Bebet dan Bobot (sistem Kasta) dalam memilih jodoh atau pasangan hidup, ada beberapa hal yang memang layak kita pertimbangkan sebagai pegangan dalam memilih pasangan. Sistem kasta (bibit, bebet, bobot) dengan pelestarian ras, genetic dan bobot dari keturunan merupakan bentuk kontrol agar kualitas anak (keturunan) menjadi lebih baik, melebihi kualitas dari orang tua sebelumnya, paling tidak sama dengan ”cetakan aslinya”.  * Penulis adalah Guru Sejarah SMA Avicenna Cinere

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun