Saatnya kini kita mendefinisikan kembali Wakil Rakyat yang hangat dibicarakan jutaan wacana dan mulut bangsa Indonesia. Namun sebelum wakil rakyat kita kupas tuntas, kita pasti masih ingat dengan konsep kepemimpinan perwakilan Tuhan di Bumi.
Wakil Tuhan
Raja merupakan Wakil Tuhan di bumi. Sabda raja adalah sabda Tuhan, dan abdi raja dengan semua jajarannya, serta seluruh rakyat dibawahnya harus tunduk patuh pada sabda raja, karena bila sabda raja dibantah itu sama saja dengan melawan perintah Tuhan.
Rakyat akan merasa nyaman, tentram dan sejahtera bila rajanya adil dan bijaksana, namun akan jadi malapetaka yang dirutuk setiap hari bila rakyat dipimpin oleh raja yang lalim, kejam, semena-mena, manipulatif, koruptif, kental dengan intrik politis.
Wakil Rakyat
Dengan sistem kekuasaan yang otoritatif berbentuk kerajaan, suksesi jatuh tidak jauh dari lingkaran kekuasaan raja, entah itu di ambil alih oleh pangeran, atau kerabat dekat dari sang raja. Namun dengan sistem yang sempit terbatas dikalangan bangsawan darah biru, kekuasaan mengalami kejenuhan, ajeg, dan stag pada pola yang mirip dan membosankan. Apalagi bila sang pangeran hidup dalam kemewahan dan kemudahan yang melenakan hingga mentalnya tumbuh menjadi lemah dan melemahkan sistem yang ada, kadang membuat ngawur bahkan merugikan banyak pihak termasuk rakyat di dalamnya. Hingga muncullah konsep wakil rakyat, agar kekuasaan kerajaan yang otoriter dan koruptif tidak terus berlangsung dan merugikan rakyat terus menerus.
Di Indonesia konsep wakil rakyat tercantum dalam dasar negaranya pada sila ke empat Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah/kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Artinya kekuasaan tertinggi sesungguhnya dipegang oleh rakyat, namun kekuasaan itu di berikan rakyat kepada wakilnya, melalui mekanisme partai dan Pemilahan Umum. Rakyat mengadakan pesta demokrasi, memilih calon wakilnya dari partai-partai yang ada. Pilihan sepenuhnya adalah independensi dari rakyat, sesuai dengan hati nurani dan ideologi yang dianutnya.
Setelah pesta demokrasi usai, maka terpilihlah wakil rakyat dari banyak partai yang ada. Dan sebagai wakil rakyat sudah sepatutnya suara rakyat di junjung tinggi dan mengaplikasikannya untuk kepentingan rakyat juga, secara adil, dan bijaksana yang berujung pada rasa nyaman dan kesejahteraan rakyat.
Namun alih-alih menjadi nyaman dan sejahtera, rakyat malah mendapat masalah baru dengan kelakuan wakil-wakilnya. Tingkah polahnya lebih parah dari pangeran yang manja, bahkan karena mereka tergabung dalam Dewan Perwakilan, jumlah mereka bukan satu, bukan dua ataupun tiga, namun puluhan, bahkan ratusan. Betapa pusing dan geleng-geleng kepala kita sebagai rakyat melihat ratusan ”pangeran manja” yang tergabung dalam anggota dewan rakyat ”berjoget” tak tahu diri, mencolok mata kita melalui pemberitaan koran, majalah, televisi, ataupun internet. Joget mereka bukan hanya saja memalukan tapi telah mencemarkan nama baik rakyat, bahkan disisi lain mereka telah secara nyata-nyata merugikan rakyat, menghabiskan anggaran untuk hal-hal yang tidak penting dan ada juga yang diselewengkan, dan dikorupsi. Padahal kita tahu anggaran yang mereka kelola dan mereka gunakan sehari-hari berasal dari keringat dan darah rakyat yang memilihnya. Mereka amnesia, mereka lupa, lupa daratan, dari asal-usulnya, dari sejarahnya, rakyat.
Wakil Nafsu
Kalau sudah begitu wakil rakyat telah mengkhianati rakyatnya, asal-usulnya, sejarahnya, dan idealismenya. Wakil rakyat mulai menjauh dari rakyatnya, menjelma menjadi wakil nafsunya, dan mereka menyerah terjerat pada egonya. Nafsu telah membimbingnya untuk membuat kebijakan yang cenderung hanya pada kelompoknya, partainya, dan egoisme bejatnya, asal menguntungkan diri sendiri, masalah rakyat di pikirkan nanti, atau kalau perlu diabaikan.
Kita sebagai rakyat kemudian hanya menjadi penonton”joget gila” mereka, para anggota dewan. Setelah menonton kita hanya bisa komentar, sumpah serapah, paling banter demonstrasi, parlemen jalanan, selebihnya kita sebagai rakyat diam, dan berdoa semoga mereka sadar (eling) dan mau kembali berpihak pada rakyat.
Sementara mengandalkan pimpinan tertinggi negara ini, sama saja bohong, karena RI 1 itu pun terlalu sibuk dengan pencitraan diri dan pada periode keduanya sepertinya ada indikasi memaksimalkan diri untuk mengembalikan modal awal, memperkaya diri dan kalau perlu tidak habis sampai tujuh turunan seperti presiden KKN sebelumnya yang pernah berkuasa selama 32 tahun.
Wakil Setan
Wakil rakyat kita kini, bukan lagi wakil Tuhan di bumi yang menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Wakil Rakyat kita kini, bukan lagi wakil rakyat sesungguhnya.
Wakil rakyat kita kini, hanyalah wakil partai.
Wakil rakyat kita kini adalah wakil dari nafsunya sendiri, dan yang lebih parah lagi wakil rakyat kita kini adalah wakil setan.
Padahal kita tahu, bahwa setan adalah musuh kita yang paling nyata, dan setan pantas berbangga kini, karena wakilnya telah eksis di bumi kita tercinta.
* Penulis adalah Guru Sejarah SMA Avicenna Cinere
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H