"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".
Begitulah kira-kira bunyi UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Tidak ada yang salah dengan pasal ini, semua orang memang berhak mendapat pendidikan, pertanyaannya adalah dengan adanya hak yang dimiliki rakyat sudah mampu menjamin semua warga negara mendapat pendidikan? Kenyataannya adalah tidak.
Menurut data UNICEF tahun 2016 ada 2,5 juta anak tidak dapat melanjutkan sekolah. Dengan angka 600 ribu usia Sekolah Dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dapat dibayangkan betapa banyaknya potensi-potensi besar yang terbuang percuma. Jika ditanyakan penyebab gagalnya mereka melanjutkan pendidikan pastilah tidak jauh dari alasan klasik seperti UANG.
Negara yang katanya memiliki sumber daya alam yang melimpah dan dengan hasil laut yang begitu banyak ternyata tak mampu membiayai semua warganya untuk bersekolah. Selain uang tentu fasilitas menjadi salah satu penyebab anak putus sekolah. Misalnya didaerah Papua sana para siswa harus berjalan berkilo-kilo meter demi mencapai sekolahnya. Jadi bila kita lihat secara menyeluruh ternyata ada banyak penyebab gagalnya warga kita mengambil haknya untuk mendapat pendidikan. Belum lagi selesai masalah ini, kini muncul lagi sistem zonasi.
Sistem ini dikeluarkan melalui Permendikbud no. 17 tahun 2017 yang pada awal tujuannya adalah menghapus sekolah favorit karena semua harus sama tidak boleh ada yang status favorit kemudian yang lain buangan begitu kata Mendikbud. Walau mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak ternyata sistem zonasi ini akan diterapkan lagi tahun depan. Itu artinya bagi para orang tua segeralah pindah sedekat mungkin dengan sekolah.
Sebenarnya ini sistem apa, pemerintah tidak memikirkan bahwa satu daerah mungkin  ada murid yang begitu cerdas hingga harus dikembangkan lagi kemampuannya dengan sekolah yang memiliki fasilitas mumpuni, jika tetap ikut didaerah tersebut tentu potensi yang ada tidak dapat digalin secara maksimal. Pemerintah boleh saja jika akan menerpakan sistem zonasi akan tetapi ratakan dulu fasilitas ditiap sekolah, kompetensi para guru, serta biaya agar sistem ini dapat berhasil dengan baik.
Inilah wajah pendidikan kita, anak didik hanya dijadikan uji coba sistem-sistem baru. setelah gagal baru dievaluasi. Coba tengok lagi kebelakang maka kita akan melihat sistem Full Day School yang nyatanya menghabiskan banyak sekali waktu. Anak-anak tidak dapat lagi bermain sepulang sekolah karna sudah terlalu letih disana.
Kini yang paling baru adalah PR akan dihapuskan. Jika dilihat dari sudut para murid tentu ini adalah hal yang paling membahagiakan akan tetapi pernahkah melihat hal ini dari segi kebaikan? Dengan adanya PR para siswa dapat mengevaluasi kembali pelajaran yang telah diterimanya. Dizaman yang serba canggih ini tentu tidak terlalu sulit bagi siswa untuk mengerjakan PR, semua kunci jawaban bisa didapat dari internet. Jika PR dihapuskan maka para siswa akan lebih banyak menggunakan waktunya untuk bermain game atau membuat video Tik Tok.
Mendidik siswa memang tidak mudah, semua memerlukan formula yang baik dan dapat diterima semua orang. Jika memang ada sistem yang harus berubah adalah pola pikir siswa itu sendiri agar dapat mencintai buku. Pada study "Most Literred Nation in the world 2016" tingkat minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Terbaik kedua dari bawah. Bagaimana sebenarnya negeri ini mau berkembang jika membaca saja mereka tidak mau. Dengan membaca maka semua disiplin ilmu akan mudah diserap. Inilah PR sesungguhnya dari para pemerintah.
Maka tidak salah jika sesunggunya para rakyat sedang menertawai pendidikan kita. Pendidikan kita hanya percobaan, jika gagal maka anggap saja bercanda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H