Berbicara tentang pendidikan merupakan satu terma yang tidak ada habisnya. Pendidikan merupakan suatu proses yang berjalan seumur hidup atau sering disebut long life education, proses yang terus berjalan dari mulai ayunan dan berakhir ketika masuk liang lahat. Setiap saat pendidikan selalu mengalami perubahan dan dinamikanya mengikuti perkembangan zaman, baik dari segi sumber daya kependidikan, kurikulum, fasilitas, pemanfaatan media, dan lainnya.
Globalisasi; Pisau Bermata Dua
Apalagi di era globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, dunia ilmu pengetahuan seakan berada dalam genggaman, satu kali tekan tombol maka kita dapat mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia manapun. Melalui fasilitas internet yang dapat diakses dari komputer, laptop, tablet, dan smartphone menjadikan lengkap sudah kemudahan akses pengetahuan yang dapat dilakukan di manapun dan kapanpun secara cepat.
Hal ini tak urung membawa angin segar dalam dunia pendidikan Indonesia, sejuta fasilitas dan kemudahan ditawarkan. Namun, yang perlu dipahami bahwa efek globalisasi ini diibaratkan seperti pisau bermata dua, positif dan negatifnya memiliki konsekuensi yang seimbang. Kompetisi, integrasi, dan kerjasama adalah contoh dampak positifnya, sedangkan dampak negatifnya antara lain lahirnya generasi instan, dekadensi moral, konsumerisme, bahkan permisifisme (Jamal Ma’mur Asmani, 2012). Selain itu dampak negatif lainnya adalah maraknya tindakan kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, seks bebas, dan kriminalitas (Barnawi & M. Arifin, 2013).
Jika menilik UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pendidikan dimaknai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk mencapai semua itu maka dibutuhkan kerjasama yang berkesinambungan semua pihak yaitu orang tua, lembaga pendidikan (sekolah), lingkungan, dan komponen lainnya. Sekolah melaksanakan pendidikan secara formal, sedangkan orang tua proaktif memberikan follow up ketika peserta didik di rumah dan memberikan pengawasan ketika bergaul dan terjun di masyarakat.
Terdapat 3 aspek penting yang dewasa ini menjadi konsen dunia atau lembaga pendidikan, yaitu adanya keseimbangan dan keterpaduan antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif. Aspek kognitif menekankan pada kemampuan mental (otak) untuk memahami serangkaian ilmu pengetahuan, aspek psikomotorik menekankan pada keterampilan (skill), aspek afektif menekankan pada sikap, nilai, perilaku. Namun kenyataan tak sebanding dengan harapan, sekolah-sekolah dewasa ini terlalu terpaku pada aspek kognitif semata, sebatas transfer of knowledge. Keberhasilan pembelajaran diukur dengan angka-angka yang sangat tidak merepresentasikan tujuan pendidikan, yaitu mencetak peserta didik yang memiliki kecerdasan dan berakhlak mulia. Sekolah ataukah memang sistem pendidikan yang telah sedemikian membelenggu?
Urgensi Pendidikan Karakter
Mengamati fenomena dan dampak globalisasi yang kian mengganas tersebut, maka diperlukan sebuah formula dalam rangka membentengi peserta didik. Diperlukan sebuah rekonstruksi agar pendidikan benar-benar mampu mencetak peserta didik yang berilmu dan berkarakter. Maka dalam hal ini diskursus tentang pendidikan karakter perlu untuk direkonseptualisasikan kembali. Melalui konsep pendidikan karakter ini peserta didik diarahkan untuk tidak hanya belajar tentang nilai-nilai, namun benar-benar meyakini dalam hati dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari. Misalnya tentang nilai religius, kejujuran, sopan santun, tanggung jawab, disiplin, dan lainnya.
Thomas Lickona (1991) menyatakan bahwa pendidikan karakter sangat urgen dikarenakan beberapa sebab di antaranya, pertama, merupakan kebutuhan yang mendesak dan nyata, hal ini mengingat perkembangan globalisasi di atas telah menyasar semua kalangan, termasuk dunia anak sebagai lahan empuk yang lebih mudah terjangkit aspek negatifnya. Kedua, bahwa nilai merupakan cara bekerjanya suatu peradaban, negara yang adil dan makmur tercipta melalui kader muda bangsa yang berilmu dan berkarakter. Ketiga, pentingnya sekolah sebagai lembaga moral bagai anak yang mengajarkan dan mempraktikkan tentang nilai-nilai, dikarenakan intensitas pendidikan moral yang sangat sedikit dari orang tua (keluarga). Orang tua sering kali telah lelah dan capek dengan rutinitas pekerjaan harian, sehingga absen dalam membentuk kepribadian dan karakter anak.
Implementasi pendidikan karakter yang akhir-akhir ini menjadi sorotan pakar, memang mendesak untuk diaplikasikan bersama. Hal ini penting mengingat perkembangan remaja dewasa ini yang kian tak terkendalikan. Melalui konsep ini diikhtiarkan mampu terbentuk generasi yang diharapkan bangsa sesuai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Semua lini hendaknya satu barisan satu tujuan, dari siswa, orang tua, guru, pengawas, pemerintah, dan masyarakat untuk bersama-sama menjadi patriot dan promotor, tidak sekadar mengajarkan nilai-nilai, tetapi bersama-sama saling memberikan contoh dan keteladanan dalam mewujudkan generasi yang berilmu dan berkarakter. Pendidikan karakter perlu terus dikampanyekan sebagai totalitas pendidikan yang bermutu dan bermartabat, demi terciptanya generasi bangsa Indonesia yang kuat, mantap, berilmu dan, berkarakter. Sehingga segala efek negatif globalisasi dapat diminimalisir melalui implementasi pendidikan karakter ini. Semoga.
[caption caption="Salah satu kegiatan di suatu sekolah (dok. pri)"][/caption]