Mohon tunggu...
Abdul Ghofur
Abdul Ghofur Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penelusur jalan kehidupan, masih mencari makna dan hakikat hidup yang sejati.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gagasan Ki Hajar Dewantara; Dulu dan Sekarang

28 Mei 2015   18:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:30 2299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak asing di telinga masyarakat Indonesia tentang kebesaran sosok Suwardi Suryaningrat atau yang akrab disebut Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar merupakan Menteri Pendidikan Nasional RI ke-1. Ki Hajar merupakan salah satu pahlawan nasional yang memiliki peran penting dalam memajukan dan peletak dasar pengembangan pendidikan Indonesia.

Ki Hajar sangat terkenal dengan 3 jargon khas pendidikan. Sehingga Jargon yang berbahasa Jawa tersebut menjadi semboyan yang ditulis di sekolah-sekolah, baik di dinding kelas, ruang guru, prasasti di halaman sekolah, dan lainnya. Tentu semboyan tersebut digadang-gadang tidak hanya penghias atau pelengkap semata, namun mampu terimplemantasi dalam praktik nyata pendidikan Indonesia.

Ya, jargon tersebut yang pertama berbunyi ing ngarso sung tulodo yang berarti di depan sebagai pemberi contoh. Kedua ing madyo mangun karso yang berarti di tengah memberikan semangat. Dan yang terakhir ketiga tut wuri handayani artinya di belakang memberikan dorongan.

Konsep tersebut kiranya masih relevan bila dikaitkan dengan pengembangan pendidikan ideal di negeri ini. Semboyan yang dijadikan sebagai motto Taman Siswa tersebut, bahkan untuk tut wuri handayani hingga kini tersemat indah dalam logo resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Namun, kenyataannya jauh panggang dari api, ketiga semboyan yang diharapkan mampu teraplikasikan dengan baik harus menemui kenyataan pahit. Globalisasi yang kian mengganas di setiap lini kehidupan manusia, termasuk pendidikan, membendung dan meghalangi konsep tersebut terimplementasi dengan baik. Pada akhirnya tujuan mulia dari konsep tersebut seakan terbelokkan, tergantikan kebutuhan sesaat dan individualis para pemegang kepentingan.

Sebuah Kontradiksi

Taruhlah pada semboyan pertama, ing ngarso sung tulodo kini telah berubah dan bergeser menjadi ing ngarso numpuk bondo yang artinya yang di depan hanya mengumpulkan harta. Para pangarep (baca: pemuka), baik agama maupun negara, dan pemuka lainnya dewasa ini terlihat seringkali menampilkan kepribadian yang tak layak dicontoh. Kasus-kasus besar dan memalukan menerpa para pemuka dan anehnya tidak ada raut penyesalan di wajah-wajah mereka, bahkan ketika ditangkap penegak hukum, seringai senyum dan lambaian tangan dengan santainya tergurai.

Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dengan segala bentuknya misalnya dengan jelas mengidapi para pejabat publik negara. Para agamawan pun sering terbelenggu pada pemahaman sempit terhadap agama, pembuatan fatwa yang serampangan, adanya komersialisasi agama melalui berbagai hal yang dihubung-hubungkan sebagai suatu yang Islami misalnya, seperti bank syariah, koperasi syariah, hotel syariah, dan lainnya. Hal itu menambah daftar lengkap kuatnya praktik semboyan ing ngarso numpuk bondo.

Pada semboyan kedua ing madyo mangun karso, namun kenyataannya bergeser pada ing madyo podo suloyo artinya di tengah salah kaprah. Para penengah yang diharapkan mampu memberi semangat dan spirit perjuangan namun apa daya terbelenggu pada ketidakteraturan sistem. Padahal bukankah mereka seharusya berkiprah sebagai penghubung dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan masyarakat. Para panengah ini seakan menjadi kalap dan salah kaprah, karena para pangarep-nyayang telah terjerumus pada nafsu sesaat menumpuk-numpuk harta sebanyak-banyaknya. Efek domino menyebabkan para penengah ini kalang kabut, sikut sana sini untuk mampu mempertahankan kehidupan dan eksistensinya.

Pada semboyan ketiga tut wuri handayani seakan bergeser menjadi tut wuri anyrekali, artinya di belakang saling menjatuhkan. Para kelas grass root inilah yang menerima efek domino terbesar dari polah tingkah dan tidak bermutunya kualitas para pemuka dan penengah. Para kelas bawah yang seharusnya mampu memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang, namun “dipaksa” untuk saling jegal menjegal demi memenuhi hasrat dan kebutuhan individual masing-masing. Mereka dengan segala keterbatasannya terus berupaya memenuhi kebutuhan dan eksistensinya tentunya sebagai masyarakat kelas bawah. Dalam konteks ekonomi sering terdengar celetukan “mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal”.

Mulai dari Diri Sendiri

Demikian tragis dan sengitkah pengaruh dari globalisasi yang telah meluluh lantahkan bangunan indah yang telah dirintis Ki Hajar Dewantara. Sedemikian rupa konsep tersebut terputarbalikkan di era ini. Maka diperlukan solusi bijak aplikatif dari semua pihak. Utamanya kita sebagai individu perlu menjadi pelopor dan promotor untuk kembali me-refresh implementasi nilai-nilai luhur Ki Hajar Dewantara tersebut.

Pada bidang pendidikan, sekolah perlu mengkampanyekan kembali nilai-nilai tersebut, sehingga tidak hanya menjadi hiasan atau pemoles dinding semata. Namun mampu dimaknai dan diaplikasikan sebagai suatu pembiasaan sehingga menjadi budaya sekolah. Pendidik, peserta didik, dan seluruh komponen pendidikan hendaknya berharmoni bersama memaknai dan mempraktikkan ulang dengan baik konsep yang mulai pudar tersebut.

Sehingga pada akhirnya terbentuk karakter individu empan papan (sesuai pada tempatnya). Setiap individu mampu menempatkan dirinya apakah sebagai pemuka, penengah, atau orang yang di belakang. Dengan mengetahui posisinya maka diikhtiarkan mampu berandil dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang nyaman dan tenteram. Semoga.

Ki Hajar Dewantara (doodlefinder.org)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun