[caption id="attachment_81542" align="aligncenter" width="600" caption="merapi setelah erupsi (dok pribadi)"][/caption]
Sebelum fajar menyembul dari balik punggung pagi, sebagian orang sudah membuka mata untuk mengawali rutinitas, menjalankan agenda harian. Sementara sebagian yang lain baru saja memejamkan mata setelah semalaman bekerja, mengais rezeki di saat orang kebanyakan menikmati lelap tidurnya, demi merengkuh sebuah tujuan atau sekadar bertahan dari impitan kebutuhan.
Ketika langit kudongak tampak cerah, hatiku sedikit bungah. Terlebih saat memandang merapi yang memunggungi tempat tinggalku tak lagi erupsi, batin bertambah lega. Semoga hari ini dan seterusnya tak terjadi apa-apa. Semoga cerahnya langit pagi juga diikuti cerahnya kehidupanku dan juga para korban (langsung) merapi. Itulah sepenggal doaku di pangkal pagi hari ini.
Pagi ini aku ingin melihat kawasan korban merapi, ketika jalan menuju ke sana masih lengang. Tepat pukul 6.30 WIB, aku berangkat bersama istri. Setelah 30 menit lebih aku sampai di desa Kinahrejo, ngarai yang luluh lantak diterjang lahar dan terpapar awan panas ‘wedhus gembel’ belum lama ini. Di situ pula Tuhan memurnabaktikan Mbah Maridjan sebagai pawang merapi dengan kematian.
Saat kususuri jalan yang permukaannya dipenuhi debu dan pasir yang masih menyisakan aroma kental belerang, kulihat seorang perempuan uzur sedang berkerut dahi dan bergumam melihat puing-puing sebuah rumah. Aku pun mencoba mendekatinya, dan sejurus kemudian sepatah dua kata aku menyapanya. Mujiyati, begitu perempuan uzur itu memperkenalkan namanya.
Mujiyati bukanlah salah satu penduduk ngarai itu. Dia berasal dari Purwobinangun Pakem, sebuah desa yang menampung ribuan pengungsi dan dulu sempat dikunjungi Pak Beye. Semula ia menjadi relawan di barak pengungsian tersebut. Saat daerahnya itu menampung ribuan orang dari dusun yang lebih dekat dengan merapi, ia ikut membantu memasakkan makanan untuk para korban.
“Namung hanitahi jijibahan urip bebrayan. Namung masa`ke thok ‘sekadar memenuhi kewajiban hidup dengan sesama saja. Cuma memasak saja kok’,” begitu jawabnya saat aku tanya mengapa dia memilih jadi relawan.
“Sudah seyogianya saya membantu sesama `kan? Berbagi kan tak membuat kita merugi. Itu pun sebatas kemampuan saya. Suatu saat saya juga butuh bantuan orang lain. Bahkan, apa yang mereka alami bisa saja menimpa saya suatu saat. Tak ada yang mustahil jika Allah menghendaki itu mungkin terjadi,” lanjut ibu dua anak itu.
“Selang beberapa hari kemudian, ternyata erupsi merapi memaksaku mengalami hal yang sama dengan mereka: hidup di barak pengungsian, tidur beralaskan tikar pandan, dan antre menunggu makanan. Namun sayang, di saat kondisi kami di barak pengungsian memprihatinkan, ada menteri kok tega-teganya ngomong jadi pengungsi enak, makan tinggal nunggu bunyiklenteng-klenteng.”
Begitulah, musibah memang tak dapat ditolak. Siapa pun dapat tertimpa. Upaya penolakan terhadapnya hanya akan menciptakan luka tersendiri. Mengubah cara pandang terhadap musibah, itu yang perlu dilakukan. Sebab, sudut pandang adalah faktor yang menentukan dalam menjalani kehidupan. Melalui pandangan positif, tentunya akan tercipta kondisi dan suasana batin yang positif pula.
“Akan tetapi, dari erupsi merapi kemarin, saya tahu apa arti sesungguhnya berbagi. Di balik erupsi yang mengerikan itu, merapi sesungguhnya sedang mempersatukan rasa kemanusiaan kita, di tengah krisis teladan petinggi negeri yang perilakunya tak simpatik dan bahkan tuna empati,” tukas perempuan sederhana itu sembari membenarkan letak jilbabnya.
Memang, erupsi merapi telah membuat banyak orang trauma dan depresi. Namun, bukan berarti itu menutup harapan kita akan adanya masa depan yang baik. Sudah sepatutnya kita bersyukur masih diberi sisa umur. Biarlah kisah dan hikmah erupsi merapi menjadi lestari dalam pintalan ingat. Semoga semesta doa dan harapan yang kita pancangkan di awal tahun ini mengantarkan kita pada kebahagiaan yang sesungguhnya. Semoga!
Selamat tahun baru, Saudaraku. Semoga kesejahteraan dan kebahagiaan selalu meliputi kehidupan kita. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H