[caption id="attachment_111383" align="aligncenter" width="640" caption="(foto: koleksi pribadi)"][/caption] Ihwal kekuatan dan peranan buku bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat sebuah bangsa, kukira tak ada yang meragukannya. Bagaimana dulu bangsa Mesir yang hidup di pinggiran sungai Nil menjadi kiblat pencerahan dunia? Bagaimana bangsa Eropa bisa digdaya di antara bangsa lainnya? Kejayaan kedua bangsa adiluhung tersebut bermula dari penghargaan mereka terhadap dunia pustaka dan kebiasaan masyarakatnya yang gemar membaca. Mungkin semangat itulah yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpincut sehingga menganjurkan masyarakat negeri yang 90% sudah melek huruf tapi rendah budaya bacanya ini untuk membudayakan gemar membaca dan mengembangkan tempat-tempat membaca seperti perpustakaan, tepat saat meresmikan Perpustakaan Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi, September 2006, sekira lima tahun silam. Terkait dengan kebiasaan membaca ini, mungkin aku termasuk orang yang beruntung. Seingatku, saat masih kecil, jika belum sempat membelikan buku, bapak biasanya membawakanku buku cerita bergambar dan fabel yang dipinjamkannya dari perpustakaan sekolah tempat bapakku mengajar. Mulai dari cerita Kancil, legenda Tangkuban Perahu, Rorojonggrang, Jaka Tarub dan Nawang Wulan, hingga cerita kondang si anak durhaka Malin Kundang. Jika bapak melihat aku tidak membaca buku bawaannya, bapak biasanya menyindirku, "Orang yang tidak pernah membaca sama buruknya dengan orang yang tidak bisa membaca." Kebiasaan membaca ini aku rasakan bertambah keasyikannya setelah aku diminta membantu membenahi sebuah perpustakaan pesantren di Cirebon. Oleh salah satu pengasuh, saat itu aku didapuk untuk membantu seorang pustakawan mengklasifikasikan ribuan buku dan kitab yang menjadi koleksi para kiai dan pesantren. Di perpustakaan ini pula aku dan teman-teman sering berdiskusi dan bahkan “didoktrin” melek buku ketimbang sekolah tak menentu. Bagiku, membaca buku sama dengan membuka cakrawala kehidupan. Oleh penulisnya, aku seolah-olah diajak mengembara ke mana dia menjelajah dan berhenti atau sekadar tetirah di tempat yang teduh dan indah. Dalam fantasi ini, aku menganggapnya sebagai teman ngobrol yang asyik sekaligus guru imajiner yang kadang mengusikku dengan pernyataan-pernyataan ihwal renik kehidupan yang kadang tak terpikirkan olehku. Puas, mungkin itulah yang akan dirasakan penulis seandainya dia tahu dan melihatku saat dihantui rasa penasaran atas informasi dan pernyataan itu. Untuk mengobati rasa penasaran ini, aku tak berhenti di buku itu saja. Biasanya aku mencari, membandingkan, dan melengkapinya dengan informasi dari buku lain. Begitulah yang kulakukan saat dibayang-bayangi rasa penasaran, apalagi saat ada sepenggal informasi yang janggal. Jika tak membaca buku, mungkin aku tak kan tahu bahwa mouse dan keyboard komputer lebih kotor daripada dudukan kloset. Mouse dan keyboard merupakan tempat yang menyenangkan bagi bakteri. Keduanya mengandung bakteri yang sangat membahayakan kesehatan manusia dan memiliki lima kali lebih banyak kuman daripada dudukan toilet. Dari keterangan ahli mikrobiologis Inggris James Francis inilah aku mengerti pentingnya membersihkan mouse dan keyboard secara berkala. Tak hanya itu. Buku juga sering menyelamatkan kehidupanku dari kesia-siaan waktu saat menunggu. Memang, menunggu adalah hal yang menyebalkan bagi sebagian orang, namun memanfaatkan jeda waktu tunggu itu harus tetap aku utamakan ketimbang merayakan gerutu. Dan, buku adalah teman duduk terbaikku di saat-saat seperti itu. Menunggu pun tak lagi menjemukan. Di sinilah anggapan bahwa membaca buku membutuhkan waktu khusus, agaknya keliru dan terbatalkan. Memang, sungguh mustahil mengetahui segala informasi dan detail segala hal, namun haqqul yaqin aku percaya bahwa banyak informasi dan hal yang akan aku dapatkan di balik kebiasaan membaca buku ini. Namun sayang, oleh sebagian orang buku justru dijadikan media pengeboman. Salah satu media dan warisan budaya yang membidani lahirnya peradaban itu justru dilacurkan untuk meneror bahkan membunuh sesama karena kepentingan yang nista. Lepas dari kondisi “miring” perlakuan teroris terhadap buku tersebut, entah karena alasan ideologi atau pengalihan isu nasional, sejatinya budaya baca masyarakat kita yang rendah merupakan bom waktu yang sesungguhnya. Dan sesuai kodratnya, bom waktu itu akan meniarapkan harapan dan mimpi bangsa ini dari kejayaan. Bagaimana jika bom buku sekian minggu yang lalu itu adalah pengalihan isu nasional atas minat baca masyarakat kita yang rendah? Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H