Mohon tunggu...
Aziz Safa
Aziz Safa Mohon Tunggu... Programmer - editor dan operator madrasah

jika hidup mempunyai arti yang beragam, tentunya bahagia juga tak bermakna tunggal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Batik, Antara Seni dan Doa

30 Juli 2010   03:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:27 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_210143" align="alignright" width="300" caption="motif sidomukti (www.google.com)"][/caption] Bersamaan akhir kumandang adzan zhuhur dari Masjid Muttaqien di sebelah pasar Beringharjo, Malioboro, Jogja, kulihat jam tangan sudah menunjukkan pukul 12.10. Kupercepat langkah kaki saat terik matahari serasa tepat di atas kepala tak begitu ramah seperti biasanya, menyengat kulitku yang semakin cokelat mendekati hitam. Dalam hitungan beberapa detik, aku sudah memasuki koridor jalan yang dilatari lapak dagangan dan lalu lalang orang. Tampak, ada yang menyeka keringat yang mengalir di pelipis dan alis, ada juga yang melepas kancing baju paling atas lantaran tak betah menahan gerah, bukan karena ingin dianggap gagah seperti gaya anak muda era 80-an. Setelah dua blok aku menyusuri pasar Beringharjo, aku tertegun. Aku bingung mencari batik bermotifkan sidomukti sebagaimana yang disarankan oleh ibuku. Aku belum pernah melihat motif ini secara langsung. Maklum, kendati aku dilahirkan di kota batik Pekalongan, dulu aku tidak begitu hirau ihwal seni di balik detail per mili motif dari terakan cairan lilin (malam) ini. Sejurus kemudian, terdengar suara orang menyapaku dari arah samping. “Ngersaakén punapa, Mas?” (Mau beli apa, Mas?) tanya seorang ibu penjaga lapak batik yang sudah uzur. “Bu, badhe nyuwun pirsa, menawi motif batik ingkang kangge mantenan napa nggih?” (Bu, mau nanya, kalau motif batik khusus untuk pernikahan apa ya?), tanyaku. “Oh, menawi mentenan biasane nggangge motif sidomukti, Mas!” (Kalau untuk pernikahan biasanya memakai motif sidomukti, Mas!), begitu papar penjual batik yang seumuran ibuku itu. Memang, apa pun karya seni yang tampak bisa menjadi cermin kuatnya muatan rasa dari segenap lelaku prihatin para pembuatnya. Seperti halnya batik, motifnya adalah simbol atau surat dari harapan-harapan dan doa-doa yang tak terlafalkan. Bahkan, dari batik pula kita bisa tahu apa yang menjadi falsafah hidup para pemakainya, yang bisa menyesuaikan keadaan tanpa harus kehilangan jatidirinya. Pun pada pola batik sidomukti. Motif yang biasa dipakai oleh pengantin pria dan wanita pada acara pernikahan ini tidak saja menyajikan keindahan, tapi juga menjadi perlambang atas kuatnya harapan dan doa agar rumah tangga yang dibina dicukupi secara finansial dan lestari dalam kebahagiaan; lahir dan batin benar-benar mukti hingga mati. Inilah sejatinya munajat para mempelai yang mengenakan motif ini. Dengan doa yang terangkum dalam motif batik ini pula, semoga rumah-rumah tangga yang akan dibina teman-teman selalu mendapat petunjuk Allah dan dinaungi rahmat-Nya. Begitu pun aku. Amin. Salam kompasiana :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun