Mohon tunggu...
Abdul Fatahul Alim
Abdul Fatahul Alim Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Menulis adalah menyalurkan minat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengenal Lebih Jauh Sosok Sir Alex Ferguson

19 November 2020   13:00 Diperbarui: 22 November 2020   07:32 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pinterest (https://id.pinterest.com/pin/730779477023322898/)

Manajer sepak bola tersukses sepanjang sejarah Britania Raya, Sir Alex Ferguson. Namanya sudah menjadi legenda sepak bola profesional di dunia. Klub yang dinahkodainya selama hampir 27 tahun, Manchester United menjadi klub raksasa yang memiliki banyak penggemar di seluruh dunia, bahkan sempat disebut sebagai klub sepak bola paling berharga pada tahun 2012.

Hingga kini, klub yang bermarkas di stadion Old Trafford itu selalu bersaing menjadi klub terkaya dari klub Eropa lainnya. Hal tersebut tak lepas berkat kepemimpinannya, Sir Alex selama menjadi manajer mampu menunjukkan eksistensinya dengan mengumpulkan trofi bergengsi sebanyak dua puluh kali juara Liga Premier Inggris dan dua kali juara Liga Champions, suatu raihan yang belum dapat dijangkau oleh klub Inggris manapun. Menariknya, menterengnya prestasi Sir Alex Ferguson tersebut jika dilihat dari latar belakang status keluarga dan pendidikan, bukanlah sesuatu yang dapat dibanggakan dan tergolong remaja "biasa-biasa" saja.

Jika menelisik ke belakang, Alex merupakan satu dari kebanyakan warga Govan, Skotlandia yang hidup dalam dunia pekerja kasar. Ya, ayahnya hanya sebagai pekerja kasar di industri perkapalan dengan penghasilan pas-pasan sedangkan ibunya hanya mengatur rumah tangga, turut mengasuh Alex kecil dan adiknya, Martin. Mereka tinggal di sebuah flat kecil wilayah distrik dengan kondisi fasilitas seadanya.

Pendidikan sekolah yang ditekuni Alex juga bukanlah yang berkualitas bagus, ditambah Alex juga kemudian tidak dapat melanjutkannya karena pada waktu tertentu kondisi finansial keluarga terganggu, terutama saat ayahnya mengidap penyakit sehingga mengharuskan Alex muda menafkahi keluarga dengan magang menjadi pekerja kasar pula. Meskipun pada akhirnya, Alex memilih jalur menjadi pesebakbola karena bakatnya lebih menonjol kesana dengan bayaran tetap rendah.

Kehidupan di Govan yang keras dengan lingkungan keluarga pekerja, ternyata diambil positif oleh keluarga ini. Orang tua sejak awal sudah menanami rasa kasih sayang yang besar kepada kedua anaknya, disamping sang ayah juga memberikan contoh dengan rasa tanggung jawab terhadap suatu pekerjaan, sehingga melekat pada sikap Alex sejak kecil.

Bukan hanya itu, sikap menghargai perbedaan juga terasa kental pada keluarga ini, seperti agama sang ayah yang berbeda dengan ibunya, perbedaan klub sepak bola pilihan sang ayah yang mendukung Celtic serta Alex dan Martin mendukung Rangers (dua klub rival terbesar di Skotlandia), tidak lantas menghilangkan harmonisasi bahkan tumbuhnya jiwa sportifitas diantara mereka. Tinggal di sebuah flat kecil dengan kamar mandi di dalam sangat disyukuri Alex dan tidak menghambat sama sekali pemikiran terbuka, saling berbagi di antara keluarga dan tetangganya - The size of one's heart isn't determined by the size of one's house (Sempitnya ruangan bukanlah menjadi penghalang, sepanjang setiap anggota tim mempunyai hati yang luas).

Ada yang beranggapan, cara meramu dan kerjasama dalam tim MU selama hampir 27 tahun dianalogikan kondisi flat Alex saat itu. Keberanian menentukan pilihan dan fokus terhadap satu hal tidak lantas melupakan rasa syukur Alex terhadap apa yang pernah dimiliki keluarga kecilnya saat itu, seperti kutipan kalimat darinya - We were very fortunate to have an inside toilet.

Sir Alex Ferguson mampu mengajari kita tentang suatu nilai kehidupan yang sangat berharga, yang dapat mempengaruhi pikiran kita dalam menentukan langkah dan kepemimpinan menuju kesuksesan yang hakiki. Ada peran keluarga yang tidak dapat dipungkiri membantu kesuksesan kita, tidak peduli dengan bakat yang dimiliki, bahkan meskipun dikatakan tidak berbakat sama sekali, peran keluarga sangatlah vital menumbuhkan rasa percaya diri, tanggung jawab, fokus, saling berbagi, menghargai perbedaan dan pilihan. Mungkin kita melihat orang sukses karena memilih jalur hidup yang ditekuni, namun kondisi fakta masa lalu tidak dapat dipilih melainkan adalah disyukuri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun