Mohon tunggu...
ABDUL AZIZ
ABDUL AZIZ Mohon Tunggu... Lainnya - hanya manusia biasa yang imannya naik turun :)

saya menyukai dan ingin mencoba hal-hal baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Status Nasab Anak Hasil Zina Perspektif Empat Mazhab

2 Juli 2024   21:30 Diperbarui: 2 Juli 2024   22:06 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nasab menurut Islam merupakan hal yang sangat penting, seorang anak yang terlahir dalam ikatan pernikahan yang sah menjadikan kedudukan anak tersebut menjadi jelas terkait keperdataannya, akan tetapi jika anak lahir di luar pernikahan yang sah ia tidak dapat keperdataan terhadap ayah  biologisnya, ia hanya memiliki keperdataan dengan ibunya, anak tersebut tidak mendapatkan keperdataanya akibat perbuatan orang tuanya, ia bagaikan menanggung dosa orang tuanya.

Nasab seorang anak dari ibunya tetap bisa di akui dari setiap sisi kelahiran, baik yang sah atau tidak, akan tetapi nasab anak kepada ayahnya hanya bisa diakui melalui nikah yang shahih atau fasid, atau wathi' syubhat, atau pengakuan nasab itu sendiri, Islam telah membatalkan adat yang berlaku pada zaman jahiliah yang memberlakukan nasab anak hasil zina, dengan demikian maksud dari hadits tersebut ialah nasab seorang anak itu dinisbatkan kepada ayahnya jika anak dihasilkan dari pernikahan yang sah, adapun anak dari hasil perzinahan maka tidak layak di jadikan sebab pengakuan nasab, dan haknya orang yang melakukan zina adalah di rajam atau di lempari batu, secara dzahir hadits tersebut menegaskan bahwa penisbatan seorang anak kepada ayahnya apabila telah terjadi tidur satu ranjang, dan hal tersebut tidak terjadi kecuali setelah keduanya melakukan hubungan intim dalam ikatan pernikahan yang sah atau fasid, pendapat demikian mengambil dari pendapat mayoritas ulama mazhab, berbeda menurut mazhab Hanafi bahwa penetapan anak itu cukup dengan akad nikah, akan tetapi pendapat demikian di bantah dengan menetapkan syarat harus ada kemungkinan terjadinya hubungan badan.

Penetapan kedudukan atau hubungan nasab anak didalam perspektif mazhab di dalam hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan tersebut dapat diketahui kedudukan antara anak dengan ayahnya, dan seorang anak dapat dikatakan sah memiliki kedudukan atau hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah, namun jika anak yang lahir diluar pernikahan yang sah maka anak tidak dapat disebut dengan anak yang sah, atau yang biasa disebut dengan anak hasil zina atau anak diluar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki kedudukan atau hubungan nasab dengan ibunya, anak hasil zina ialah anak yang dilahirkan dari hubungan yang tidak sah, dimana waktu berhubungan badan antara perempuan dan laki-laki tersebut belum terikat sebagai suami isteri, dan para ulama sepakat bahwa anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya jika anak tersebut dilahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah, perihal zina dalam hukum Islam tidak membedakan siapa yang melakukan, baik masih jejaka, gadis, janda, duda, atau sudah menikah dengan laki-laki atau perempuan lain.

Mazhab Imam Syafi'i, Hambali, dan Maliki bersepakat bahwa anak zina secara nasab tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, hal tersebut di karenakan hubungan seksual di luar nikah tidak akan pernah mengakibatkan hubungan (mahram) di antara kedua belah pihak, wanita yang berzina tersebut boleh menikah dengan keluarga dari laki-laki yang menzinainya, begitupun sebaliknya, Imam Syafi'i menjelaskan bahwa zina tidak akan berpengaruh dalam masalah ada atau tidak adanya hubungan (kemahraman), sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa anak zina tetap di nasabkan kepada suami ibunya tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu, akan tetapi mazhab Imam Hanafi juga berpendapat bahwa apa yang di haramkan dalam pernikahan yang sah, haram pula dalam hubungan seksual di luar nikah, dengan demikian hubungan (mahram) berlaku bagi pasangan yang ada di dalam pernikahan yang sah, akan tetapi hak nasab tidak akan di dapat jika di hasilkan di luar pernikahan yang sah menurut agama, maupun negara.

Para imam empat mazhab telah sepakat bahwasanya anak zina tidak bisa saling mewarisi antara anak itu, ayahnya dan kerabat ayahnya, berdasrakan ijtihad para ulama ia hanya mewarisi dari garis ibunya saja, karena nasabnya dari ayah terputus, maka ia tidak berhak atas waris, nafkah, dan wali nikah dari ayahnya, sedangkan dari ibu nasabnya terbukti, maka nasabnya kepada ibunya sudah pasti, sebab syara' tidak menganggap zina sebagai jalan yang syar'i untuk membuktikan nasab dan juga karena anak hasil zina tidak terbukti nasabnya dari ayahnya.

Dengan demikian anak hasil zina menurut pandangan imam empat mazhab (Imam Syafi'i, Hanafi, Maliki, dan hambali) hanya memiliki hubungan keperdataan (nasab, waris, nafkah, sedangkan wali nikah jika anak tersebut permpuan maka menggunakan wali hakim) dengan ibunya dan keluarga ibunya, tidak tergambarkan ia memiliki keperdataan dengan ashabah, kecuali dengan wala' (memerdekakan budak) atau anak, maka ia di warisi oleh orang yang memerdekakannya atau di merdekakan oleh ibunya atau anaknya dengan cara ashabah, demikian juga laki-laki yang memerdekakan atau orang yang memerdekakan orang yang memerdekakan juga mewarisinya, atau anaknya dengan cara ashabah juga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun