Novel-novel karya Habiburrahman El Shirazy memang selalu menarik untuk dibaca. Tokoh-tokoh yang ada di dalamnya memberikan banyak inspirasi, nasihat yang disampaikan pun sangat mendidik. Di sisi lain, peristiwa, latar, dan nuansa cerita begitu relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Semua karakteristik ini bisa kamu temukan dalam buku Merindu Baginda Nabi.
Novel yang terbit tahun 2018 ini berkaitan erat dengan kehidupan remaja masa kini yang dekat dengan kenakalan, pornografi, hingga narkotika. Sama seperti novel lainnya, Merindu Baginda Nabi juga membawa pesan bagi pembaca, khususnya para remaja dan orang tua.
Adapun intisari dari cerita Merindu Baginda Nabi adalah sebagai berikut;
Ada seorang anak perempuan yang bernama Dipah yang artinya dibuang di tempat sampah. Nama tersebut diberi oleh seorang nenek-nenek yang menemukannya di tempat sampah. Nama nenek tersebut adalah Mbah Tentrem. Lalu, Allah mengirim sepasang suami-istri berhati malaikat yang kini Dipah kenal sebagai kedua orangtuanya. Orang-orang memanggil mereka Pak Nur dan Bu Sal atau Bu Salamah. Pak Nur dan Bu Sal menangis kepada Mbah Tentrem agar mereka diizinkan merawat dan mengasuhnya. Akhirnya, Allah meluluhkan hati Mbah Tentrem dan diizinkan untuk mengasuh Dipah. Sebulan setelah itu, Mbah Tentrem meninggal dunia di masjid kampung saat ikut pengajian Maulid Nabi Muhammad Saw. Semua orang mengakui bahwa Mbah Tentrem yang sederhana itu orangnya ikhlas, suka menolong, dan baik pada siapa saja. Masjid ini berdiri di atas tanah wakafnya. Tiga hari sebelum Mbah Tentrem meninggal, dia mendatangi Pak Nur. Dia menitipkan rumah kalau dia sudah tidak ada dan itu dia wakafkan buat anakanak yatim dan untuk anak-anak terlantar seperti Dipah.
Di sekolah, Rifa bergaul dengan ketiga temannya yaitu Retno, Ika, dan Daru. Di satu sisi ada Arum teman motivasi bagi dirinya. Motivasi untuk terus belajar giat dan menjadi lebih baik lagi. Perjalanan Rifa di sekolah tidak pernah mudah, karena adanya gangguan Arum, namun Rifa tetap menjadi anak yang sabar dan berserah diri seutuhnya kepada Allah Swt. Dari kecil diajari abah dan ummi untuk menjadi muslim yang baik, Rifa tumbuh besar menjadi seorang bidadari yang menjaga tingkah laku, sikap, dan sifatnya seperti ajaran Nabi Saw. Di kala diinjak dan difitnah, Rifa justru membalas tindakan Arum dengan kebaikan dan itu menginspirasi teman-teman Arum.
Suatu hari, Rifa melihat wajah abahnya merenung, wajah murung bahkan beberapa kali Rifa melihat abahnya menangis. Ternyata abahnya di dera rasa rindu luar biasa, rindu kepada Baginda Nabi Muhammad Saw. Abahnya bertanya apakah Rifa dan seluruh santri mengizinkannya untuk pergi Umrah untuk bertemu Baginda Nabi. Rifa memeluk abahnya, ia tahu selama ini rezeki yang abahnya dapat dari jualan bakso digunakan untuk menghidupi anak-anak yatim. Beberapa kali mau umrah ia urungkan, karena ada keperluan mendadak dari anak-anak yatim yang memerlukan biaya pengobatan, maka biaya umrahnya diinfakkan untuk pengobatan mereka. Ummi cerita bahwa tujuh tahun lalu, saat abah mau umrah, ia mendengar ada seorang santri hafal A-Quran mau kuliah ke Mesir, tetapi tidak punya biaya beli tiket pesawat. Abahnya merelakan uangnya yang akan digunakan umrah untuk membeli tiket pesawat santri tersebut.
Kala itu, Rifa sedang duduk di pematang sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Tiba-tiba ia merasa ada tangan menyentuh pundaknya. Dan ternyata abahnya. Abahnya minta tolong kepada Rifa untuk membayar hutang 435 ribu kepada toko bangunan dekat pasar. Rifa disuruh pulang ke rumah untuk mengambil uangnya di laci almari pakaian, ada uang satu juta dan sisanya kasih ke Ustadz Anam, kata abahnya. Rifa bingung karena seharusnya abahnya pulang empat hari lagi, ketika melihat ke belakang abahnya sudah hilang. Akhirnya pun Rifa terbangun dari tidurnya. Ustadzah Maemunah mendatangi Rifa untuk memberitahu suruh buka whatsapp bahwasanya abah telah meninggal. Air mata Rifa meleleh, tulang-tulang kakinya seperti tidak bisa menyangga tubuhnya. Abah wafat satu jam yang lalu, usai shalat Ashar di Masjid Nabawi. Rifa langsung teringat mimpinya, ia langsung ke kamar abahnya dan membuka almari pakaiannya dan benar ada uang satu juta rupiah dan dengan segera Rifa pergi untuk membayarkan hutang abahnya tersebut. Keesokan harinya berita tersebut meluas, sehingga orang-orang berbondong datang ke Pesantren Darus Sakinah untuk ikut Shalat Gaib serta mendoakan beliau.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Penelitian ini menitik beratkan kepada aspek sosiologi karya sastra. Sosiologi sastra yang dimaksud adalah isi karya sastra, tujuan serta aspek lain yang tersirat dalam karya sastra. Pendekatan ini sangat berkaitan erat terhadap masalah-masalah sosial. Aspek sosiologi yang akan dikaji dalam penelitian ini lebih mengarah pada pendidikan nilai karakter yang terdapat didalam novel sebagai cerminan kehidupan nyata di masyarakat.
Dasar Pendidikan Karakter dalam Novel "Merindu Baginda Nabi" Karya Habibburrahman El Shirazy
Peduli sosial
"Dan kalau bicara masalah dermawan, mungkin dari satu kampung dia orang yang paling dermawan. Masjid ini berdiri di atas tanah wakafnya." (MBN: 4)
"Mas saya nitip rumah saya, ya, kalau nanti saya tidak ada, itu saya wakafkan buat anak-anak yatim dan anak-anak terlantar seperti Dipah." (MBN: 4)
Mbah Tentrem merupakan tokoh yang banyak dibicarakan masayarakat karena sikapnya yang dermawan. Sebelum beliau meninggal beliau berpesan kepada Pak Nur bahwa rumah dan tanah yang dimilkinya diberikan kepada anak yatim dan anak-anak terlantar. Sungguh besar kepedulian dan jiwa sosial yang dimilki oleh Mbah Tentrem.
Religius
"Abahnya sangat disiplin menjaga ibadahnya, adabnya, juga semngat belajarnya. Ia terus teringat pesat abahnya sesaat sebelum ia masuk bandara, Nduk, Bertaqwalah kepada Allah di mana saja kamu berada. Dan ingat, jangan sampai kau mambuat malu Baginda Nabi! Ingat, jangan sampai kau membuat malu Baginda Nabi!" Pesan itu membuat kedua matanya basah. "Njih Abah, Rifa akan jaga diri, dan tidak akan membuat malu Baginda Nabi, insya Allah." (MBN: 11)
Berdasarkan data tersebut, dijelaskan bahwa orang tua sangat memerhatikan pendidikan anak. Orang tua angkat tokoh Syarifatul Bariyah yakni Pak Nur sadar akan kewajiban dan hak seorang anak dalam menempuh Pendidikan terutama dalam hal akidah, syariat, dan juga akhlak.
Semangat dalam menggapai cita
"Kita jangan minder sama negara luar seperti Amerika, Rusia, Cina, Jepang, Jerman, Australia, Korea dan lainnya. Ketika kita bisa mengatur watktu dengan baik, memanfaatkan waktu kita sama baiknya dengan mereka, disiplin tidak kalah, membaca sama kuat, kita bisa menang," Rifa menjelaskan dengan mimik serius. (MBN:33)
"Setiap kali saya mengingat Arum, maka saya katakan pada diri saya bahwa Arum sedang belajar, dia ingin merebut rangking satu yang saya pegang. Maka saya harus belajar, tidak boleh malas, nanti saya kalah. Saya bayangkan dia belajar dua jam, maka saya harus belajar tiga jam." (MBN:46)
Untuk meraih impian atau cita-citanya, Syarifa membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi siswa berprestasi dengan berusaha. Tidak ada prestasi yang diraih dengan bermalas-malasan. Bahkan dia rela untuk mengurangi waktu bermain dan menambah jam belajarnya.
Dukungan dari sahabat
"Mereka sahabat-sahabat saya yang memaksa saya mendaftar. Terima kasih kepada Trio wonder girls yang selalu hebring dan heboh!" (MBN: 43)
"Tentu saja ada Dik Astuti. Teman sekelas sama semuanya adalah teman-teman yang turut andil menyemangati saya untuk terus belajar, belajar, dan belajar." (MBN: 46)
Tokoh Syarifatul Bariyah sadar dan menyakini bahwa seorang teman atau sahabat adalah kekuatan dalam mencapai keberhasilannya. Semangat dalam menuntut ilmu dia dapatkan tak lain juga karena sahabatnya. Dia selalu menjaga hubungan dengan teman-temannya, bahkan teman yang sering menyakiti perasaannya.
Toleransi
"Mereka sangat memahami dirinya sebagai seorang muslimah. Mereka sama sekali tidak terganggu ketika ia terus mengenakan jilbab. Fiona bahkan sering membangunkan dirinya untuk bangun salat subuh." (MBN: 9)
"Tentang makanan, kamu tidak usah khawatir. Fiona punya teman muslim. Jadi Fiona sudah tanya-tanya tentang apa yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh orang muslim. Saya jamin semua makanan yang disediakan di rumah ini, aman untukmu." (MBN: 9)
Memahami perbedaan yang dimiliki oleh setiap orang sangat diperlukan di era milenial ini. Tidak saling mencela dan menganggap paling benar adalah sikap yang harus ditumbuhkan kepada semua orang khusunya peserta didik di sekolah. Seperti persahabatan antara Fiona dan Rifa. Mereka berbeda kenyakinan, namun saling menghormati. Sehingga akan menjaga keutuhan persaudaraan.
Tanggung jawab
"Njih Abah, Rifa akan jaga diri, dan tidak akan membuat malu Baginda Nabi, insya Allah.(MBN: 11)
Ketika Rifa berhasil menjuari olimpiade matematika di Amerika, dia langsung teringat pesan Abahnya yakni Pak Nur. Ia langsung teringat Baginda Nabi Rasulullah SAW.
"Kalian jangan lupa, Rifa tidak asal ngomong. Dia sudah membuktikan, dia berhasil memenangkan olimpiade matematika di San Jose. Artinya ia mampu mengalahkan pelajar-pelajar Amerika di sana," Tukas Ika. (MBN:33)
Pernyataan Tokoh ika dalam novel membuktikan bahwa Rifa anak yang bertanggung jawab dengan perbuatan yang dilakukan. Bukan termasuk orang yang suka menasehati, tetapi tidak bertanggung jawab dengan ucapannya.
"Mau tidak mau Pak Nur menunaikan amanah itu. Dan panti Asuhan itu diberi nama Darus Sakinah." (MBN: 4)
Selain tanggaung jawab yang dimiliki oleh Rifa. Pak Nur sebagai orang tua Rifa juga bertanggung jawab penuh atas pembangunan panti asuhan hingga akhirnya berkembang pesat menjadi pesantren. Amanah yang diberikan oleh Mbah Tentrem dilaksanakan dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H