Mohon tunggu...
Abdul Agus Heydemans
Abdul Agus Heydemans Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Memulai dari apa yang kita tahu, membangun dari apa yang kita miliki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prinsip dan Ambruknya Rumah Tangga

10 Februari 2016   21:26 Diperbarui: 18 Mei 2016   01:37 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“ADOH! Kita bukang Khadijah deng dia bukang Nabi," kata teman saya beberapa waktu la­­lu. Meksi diungkapan bercanda namun, menunjukan jati diri wanita yang tak ingin dimadu.

Mungkin kalimat itu bisa mewakili prinsip hidup banyak wanita berumah tangga di negeri ini sebab, mereka juga mempunyai impian. Impian adalah sifat hakiki manusia tentang gambaran sebuah kebahagiaan, mengidamkan kehidupan harmonis (memiliki suami yang baik, sukses, setia, anak-anak soleh dan soleha) dipenuhi cinta dan kasih sayang.

Keharmonisan. Ya, umumnya sangat ditentukan oleh “dapur dan kasur,” kata orang kebanyaan. Dapur yang dipahami sebagai sektor ekonomi keluarga, sementara kasur dapat juga kita pahami sebagai kebutuhan privasi antar suami istri. Keduanya harus terolah dan terkelolah dengan baik karena jika tidak, berbagai macam proplem pun akan timbul mewarnai kehidupan rumah tangga.

Apa lagi, saat kita sedikit diuji oleh yang maha kuasa dengan satu atau bahkan keduanya (dapur dan kasur), lalu kita tidak mampu mengatasinya dengan tuntas, maka disitulah kira-kira awal mula ambruknya sebuah tatanan kehidupan berumah tangga.

Akibatnya, hadirnya orang ketiga atau hubungan gelap (HUGEL) hanyalah bias dari problem dapur dan kasur tadi. Kalau sudah demikian adanya, ujung-ujungnya poligami atau bahkan lebih parah dari itu cerai menjadi pilihan selanjutnya. Yang bertahan akan terus digulung oleh sangsi sosial dan yang pergi tak ingin menyandang gelar kosong satu, kosong dua dan kosong-kosong lainnya juga membawa duka dan trauma.

Mencapai sebuah kebahagian jelas tidak sesederhana impian semua manusia. Kebahagiaan tentu tidak dapat kita definisikan secara tuntas sebab, sejak jaman dulu hingga sekarang, mulai dari tokoh agama, pisikolog sampai para cendikiawan yang selalu membahas tentang kebahagiaan, tetapi tidak pernah menemukan satu format utuh apa dan bagaimana cara mencapai titik sebuah kebagaiaan itu.

Hidup manusia sungguh penuh dengan misteri, sebagian kita bisa pecahkan, sebagian lagi tetap menjadi tanda tanya hidup, yang dapat dipecahkan pun kadang kala tidak akan melahiran kesepahaman, karena setiap manusia pasti memiliki sudut pandang yang berbeda-beda.

Namun, diantara berbagai rumusan pendapat singkat mengenai kebahagiaan, ada empat hal kunci kebahagiaan seseorang menurut hadits nabi yaitu; pasangan hidupnya adalah orang baik, anak-anak yang berbakti pada orang tua, lingkungan/teman-temannya juga orang baik dan mempunyai pekerjaan yang tetap di negerinya sendiri. 

Paling penting lagi, kita selalu bersyukur atas nikmat dan karuniah Tuhan.  

Tidak sulit, bukan? :-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun