Ibarat fotografer ketika menggelar karyanya dalam sebuah pameran, tentu saja ada beberapa hal yang hendak dicapai. Pertama lebih bertumpu pada proses menunjukkan identitas, kemampuan atau bahkan jati diri. Kedua, sangat mungkin berharap adanya umpan balik dari publik tentang karya foto yang dia pamerkan, proses ini biasanya disebut apresiasi yang secara harpiah berarti penilaian dan penghargaan hasil karyanya itu. Ketiga, tentu lebih bersifat pada nilai tukar atau sebut saja jual menjual, proses ini yang selalu membuatnya harap-harap cemas, apalagi urutan pencapaian biasanya tidak runut seperti paparan di atas, bisa jadi urutan terakhir menjadi sasaran utama. Beginilah ibaratnya kira-kira bila kita meraba-raba guliran wacana pembentukan pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya, semoga tidak.
Pemerintah Bolaang Mongondow Utara "Bolmut" (mudah-mudahan saya tidak keliru) menyeru masyarakat agar segera memasang papan didepan rumah bertulisan Provinsi BMR Yes. Secara subjektif bagi saya seruan itu terlalu mudah dilakukan oleh anak sekelas (SD) sekolah dasar, selain menganggu pandangan keindahan bola mata bisa juga hanya menambah sampah di depan rumah.
Belum hilang dari ingatan, trauma akan sejarah panjang mengapa rakyat bintauna, bolangitang dan kaidipang ketika itu harus memutuskan, melepaskan diri dari induknya? Sikap saya tentu tidak beda dengan apa yang dituliskan senior saya Surya Ningrat Datunsolang, di FacebookGrup BOLMUTPOST.INFO.berikut tulisannya -- PROVINSI BOLAANG MONGONDOW RAYA: NEOMONGONDOWISME? Judul diatas mungkin terkesan tendensius, provokatif atau mungkin sekedar pandangan seorang skeptik namun setidak-tidaknya bukan tanpa alasan. Membuka kembali sejarah 58 tahun silam, tepatnya tanggal 23 Maret ’54 kita akan menemui banyak hal menarik. Itu adalah saat ketika empat daerah swapraja (Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, Bintauna dan Kaidipang Besar) membentuk tanah totabuan dikukuhkan menjadi satu kabupaten dibawah nama ”Bolaang Mongondow” dengan ikrar mulia untuk memeratakan pembangunan di keempat wilayah itu (yang secara tertulis di amanatkan pada PP No. 24 Tahun 1954). Seiring dengan ditetapkannya PP No. 24 Tahun 1954 itu pula maka ketiga daerah swapraja lainnya seolah kehilangan “jati diri” oleh karena gerakan “Mongondowisasi” yang “Pasilolayansentrik”.
Itulah sebabnya keadaan Boroko di tahun ’54 tidak jauh beda dengan keadaan Boroko di tahun 2006 hingga akhirnya masyarakat Bintauna dan Kaidipang Besar (yang notabene secara etnologi lebih dekat kekerabatannya dengan etnik suwawa gorontalo ketimbang dengan intau mongondow) memutuskan untuk berpisah. Intau bintauna bo’ intau kaidipang mengerti betul akan keniscayaan pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya. Pemekaran dibutuhkan guna pemerataan peluang. Manfaat pemekaran ini telah dirasakan oleh masyarakat Bolaang Mongondow Utara dengan pesatnya pertumbuhan pembangunan di kabupaten kami ini. Sekalipun begitu, kita tidak perlu, oleh iming-iming “pemerataan” itu, kemudian menjadi lupa akan sejarah yang telah lewat ketika kita semua masih dalam satu bingkai Kabupaten Bolaang Mongondow.
Kita harus jujur melihat bahwa dikala itu ada gelagat “Mongondowisasi” yang dicirikan dengan kebijakan daerah yang “pasilolayansentrik” itu tadi. Oleh karena itu adalah wajar apabila Intau Bintauna bo Intau Kaidipang kemudian masih enggan untuk masuk dalam barisan pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya ini. Gelagat ini kemudian diperkuat dengan kejadian baru-baru ini ketika Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara harus menerima Opini “Disclaimer” dari BPK RI yang antara lain disebabkan oleh semberawutnya administrasi asset hibah dari Kabupaten Bolaang Mongondow (Induk).
Bagi sebagian orang, ini adalah salah satu pertanda tidak adanya “Good Will” untuk “baku beking bae” di Totabuan sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa Pembentukan Provinsi Bollaang Mongondow bukanlah “Good Will Driven” melainkan “Bad Will Driven" untuk kembali membangkitkan “Mongondowisme” dalam scope yang lebih besar dan lebih baru yang kemudian saya sebut sebagai “Neomongondowisme” itu. Sudah saya sebutkan bahwa Pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya adalah suatu keniscayaan, terutama bagi masyarakat Bolaang Mongondow Utara.
Namun sebelum itu harus ada suatu mekanisme yang dapat memastikan agar supaya kelak tidak ada janji-janji yang di ingkari dan tidak ada daerah yang dikebiri jatidirinya. Harus ada suatu konsensus yang dapat memastikan bahwa Bolaang Mongondow adalah “Laut (Balangon) dan Daratan dimana segala perseteruan diakhiri (Momondow)” sehingga gerakan Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya bukanlah kebangkitan “Neomongondowisme” .-
Dari tulisan yang diunggah di grup itu, saya berkesimpulan bahwa pada dasarnya pemekaran bukanlah satu-satunya jalan menuju kesejahteraan. Kita tentu tidak ingin mengulang kembali trauma tempo doloe itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H