Adapun taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 7 UU 41/1999 dikatakan bahwa kawasan hutan suaka alam maupun kawasan hutan pelestarian alam yang diatur dalam UU 41/1999 merupakan bagian dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, yaitu Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut UU 5/1990). Oleh karena itu, dalam memahami norma yang termuat dalam rumusan Pasal 44 ayat (1) UU 18/2013 juga harus dikaitkan dengan UU 5/1990.Â
Masalah Pemanfaatan Hutan Konservasi Â
World Resources Institute (WRI) menempatkan masalah kerusakan hutan tropis akibat penggundulan hutan sebagai masalah lingkungan utama Indonesia. Eksploitasi hutan yang selama ini dilakukan secara berlebihan melalui sistem hak pengusahaan hutan (HPH) dan konversi hutan untuk pengembangan pertanian, khususnya perkebunan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Kerusakan hutan juga terjadi di hutan konservasi dan hutan lindung. Data yang ada memperlihatkan bahwa hutan yang mengalami rusak berat akibat sistem HPH sampai Juni 1998 seluas 16,57 juta ha. Luas hutan konservasi dan bekas tebangannya yang rusak serta perlu direhabilitasi sekitar 13,7 juta ha, sedangkan lahan kritis mencapai 22 juta hektar (KMM Kehutanan, 2000). Djajadiningrat (dalam UNDP & KMNLH, 1997) menyatakan bahwa 12 juta ha hutan konversi telah diubah menjadi lahan pertanian, dan 4,8 juta ha untuk kegiatan pertambangan, sedangkan hutan konversi yang tersisa hanya 13,2 juta ha.Â
Dampak Akibat Pemanfaatan Hutan KonservasiÂ
Dampak dari Tingkat kerusakan hutan yang tinggi mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, ketersediaan sumberdaya air dan erosi tanah. Faktor-faktor yang menekan proses kerusakan hutan Indonesia, diantaranya konversi hutan untuk pengembangan perkebunan. Cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha untuk memenuhi kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan memperoleh keuntungan dari kayu hasil tebangan. Hampir semua pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang adalah areal pertanaman baru berasal dari areal hutan produksi yang dikonversi.Â
 Upaya pemerintah Dalam Melindungi Hutan KonservasiÂ
Kebijakan Pemerintah Dalam Melindungi Hutan KonservasiÂ
Manteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Surat Edaran Nomor 603 /Menhutbun-VIII/2000 tanggal 22 Mei 2000 yang ditujukan kepada gubernur dan bupati di seluruh Indonesia mengintruksikan agar untuk sementara para kepala daerah tidak menerbitkan rekomendasi pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk tujuan usaha perkebunan. Dengan surat edaran itu, maka tidak ada lagi permohonan baru konversi hutan alam untuk perkebunan yang dikabulkan atau direkomendasi.Â
Pemerintah harus ikut turun tangan dalam pelestarian hutan ini. Sebaiknya, pemerintah juga memberikan sanksi yang berat bagi para pelakunya, yang bisa membuat mereka jera dan tidak melakukan kesalahan mereka lagi.Â
 Kesimpulan