Fenomena mutakhir ini menunjukan kasus kejahatan seksual ibarat gunung es, muncul satu persatu ke permukaan, dan yang sanagat terlintas di ingatan penulis jika sebagian pelaku dan kebanyakan korban kasus kejahatan seksual ini justru anak dibawah umur. Hal ini dibuktikan dengan laporan yang masuk ke Komisi Nasional Perlindungan Anak setiap hari, 60 persen merupakan kejahatan seksual terhadap anak. Selain itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mencatat jika Tahun 2016 dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual berada di peringkat kedua, dengan jumlah kasus mencapai 2.399 kasus (72%), pencabulan mencapai 601 kasus (18%) dan sementara pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%).
Angka tersebut tersebut bukanlah angka kecil, sehingga berbondong-bondonglah Negara memberikan status “Indonesia Darurat Kekerasan Seksual”. Nah, ini tentunya merupakan sebuah ironi, karena angka sebesar itu justru terjadi dikalangan atau dinegara yang mengkau beragama. Berangkat dari presepsi penulis tersebut, dimana penulis sengaja memberikan catatan khusus bagi pemaknaan agama sekaligus penulis tak takut untuk mengulas keberadaan orang yang ada didalam agama itu sendiri.
Hampir semua orang mengatakan pengakuan lahiriah akan adanya peranan agama dalam segala aspek kehidupan, dan semua orang mengatakan jika agama sangat mempengaruhi cara berfikr, bernalar dan bertindak. Secara otomatis pula pengakuan ini berlaku juga pada peran agama dalam persoalan kesehatan reproduksi dan mental remaja kita, ternyata dari pengkuan ini masih cukup besar juga keraguan yang muncul didalam lubuk hati penulis, tentunya setelah melihat sederet persoalan kekerasan seksual dengan angka-angka yang tadi penulis paparkan diatas, dan belum lagi persoalan pergaualan bebas yang berunjung pada penyakit menular seksual yang semakin menambah keraguan penulis. Apakah memeng benar demikian halnya?
Skeptisisme ini muncul karena beberapa sebab. Ada yang karena melihat realitas kehidupan dimana semua pemeluk agama memperkosa atau tak menjalankan apa yang terkandung didalam agama itu sendiri, dan ada yang patut dipertanyakan dimana posisi kaum agamawan dalam menyikapi “Kesehatan Seksual dan Mental Remaja”, sekali lagi penulis mengingatkan bahwa bagaimanapun juga “Agama” tentu mempengaruhi pola tingkah laku pemeluknya, termasuk didalam persoalan menyikapi kesehatan reproduksi dan mental remaja. Letak persoalanya disini ada dua hal (dalam prepektif penulis) yaitu realitas yang berbanding terbalik dan posisi kaum agamawan dalam segala bentuk pembangungan lebih khususnya dalam pembangunan kesehatan reproduksi dan mental remaja Indonesia. Olehnya itu, penulis menemukan mata rantai yang putus anatara persoalan kesehatan reproduksi, pemerintah dan agamawan.
Mata rantai yang putus ini tentunya penulis jadikan sebagai kata kunci probelm dari pembangunan kesehatan seksual dan mental remaja Indonesia. Banyak pihak yang menyatakan jika untuk membangun kesehatan seksual dan mental remaja kita, maka yang harus kita lakukan adalah perang melawan kekerasan seksual, pergaulan bebas dan penyakit menular seksual (PMS). Namun penulis tak suka menggunakan istilah “Perang” (hanya soal selera) penulis lebih suka dengan istilah “Win-Win Solution”, sehingga dalam persoalan ini bagaimana kita bisa menemukan win-win solution.
Terkait dengan persoalan ini maka win-win solution yang penulis ajukan dalam tulisan ini adalah menyambung kembali mata rantai tersebut. Penulis akan mencoba mempertajam pisau analisis penulis dimana penulis menagajak kita semua untuk menegok kebelakang. Ingatkah kita dengan awal mulanya muncul program Keluarga Berencana (KB), untuk menjalankan program ini tentunya negara butuh legetimasi agama, sebab seluruh penduduk Nusantara adalah orang-orang yang beragama, disini peran kaum agamawan terlihat namun hanya sebatas melegitimasi melalui firman-firman suci, setelah itu kaum agamawan sengaja atau tak sengaja tak diberi lagi peran, pemerintah cenderung merasa punya kekuasan sehingga mengandalkan pihak-pihak terkait atau yang berada dilingakaran pemerintah itu sendiri, seperti skala besar yaitu Kementrian Kesehatan dengan mengandalkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sampai perpanjangan tangan pemerintah di akar rumput yaitu Bidan Desa .
Berangkat dari mata rantai yang penulis paparkan tadi maka analisa penulis jika keberadaan agamawan dalam pembangunan kesehatan belum dimasifkan, entah karena kurang dilibatkan oleh Negara atau karena kaum agamawan harus memaknai kembali Agama dalam konteks pembagunan kesehatan. Olehnya itu, maka penulis mengusulkan untuk bagaimana Negara melibatkan kaum agamawan dalam pembangunan, terutama pembangunan kesehatan reproduksi dan menatal remaja Indonesia, sebab sekali lagi terlepas Skeptisisme yang penulis ulas diawal tulisan perlu diingat bahwa, agama tentunya mempengaruhi pemeluknya . Sebab itu, maka peran agamawan bisa mendapat porsi besar dalam pembangunan kesehatan reproduksi dan mental remaja. Porsi besar dalam bentuk dikutsertakan, dilibatkan, bukan dimanfaatkan.
Dilibatkan atau dikutsertakan disini artinya adanya sebuah program yang dicanangkan oleh pemerintah terkait pembangunan kesehatan reproduksi dan mental remaja dalam bentuk promosi dan preventif agar persoalan yang berkaitan dengan kesehatan roproduksi dan mental remaja seperti kekerasan seksual, pergaulan bebas, pesta seks, dan penyakit menular seksual bisa ditekan angkanya. Bukanya kita punya banyak ormas-ormas yang berbasis agama, sebut saja Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, yang didalamnya berisi kaum agamawan, para kiai, ulama, dan sebagainya. Yang tentunya pula punya basis masa ideologi yang besar bahkan keberadaan kedua ormas ini sangat mempengaruhi stabilitas Negara, kenapa bisa mempengaruhi? Karena jika ada fatwa melwan Negara penulis yakin maka dengan basis masa ideologi tersebut dengan sendirinya stabilitas akan goyah. Tetapi Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sayang kepada Negara sebagaimana sayangnya mereka terhadap agama. Sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak tergoyahkan.
Nah, dengan power yang sangat dashyat itu maka tak diragukan lagi jika keterlibatan kaum agamawan dalam program “Pembangunan Kesehatan Reproduksi dan Mental Remaja Indonesia” bisa memberi efek yang luar biasa, walaupun patut diakui sebenarnya mereka terlibat tetapi hanya sebatas lingkunganya saja, akan tetapi jika Negara memasifkan lagi peran kaum agamawan dalam persoalan pembangunan kesehatan reproduksi dan mental remaja secara terstruktur dan terukur melalui program-program jitu tentunya pembangunan kesehatan reproduksi dan mental remaja bisa dapat terwujud. Nah, jika terwujud maka Skeptisisme yang penulis paparkan diawal tulisan ini juga terjawab dengan sendirinya. Mengkhiri tulisan ini penulis mengharapakan agar Negara bisa melibatkan kaum agamawan dalam segala bentuk pembangunan terutama pembangunan kesehatan reproduksi dan mental remaja yang saat ini menjadi persoalan terbesar kita, dan tentunya cita-cita membangun generasi emas Indonesia yang sehat, kuat, dan berkarakter positif dapat disambut dan diwujudkan dengan keterlibatan semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H