Semua itu kebiasaan di hari raya yang tentu membuat saya sedih tanpa bisa berbuat banyak. Sebagai anak pertama saya membayangkan ibu saya betapa sedihnya karena tahun ini saya tidak bisa pulang. Ibu saya sedih dan saya tahu itu karena dipertengahan puasa ia menelfonku dan menanyakan kapan saya pulang. Sontak saya memberi jawaban yang tidak pasti karena saya sudah tahu bahwa pemerintah kembali melarang mudik lebaran tahun ini. Saya mendengar suara ibu yang parau sebagai tanda kesedihannya, lalu telfon diambil oleh adikku yang pertanyaannya juga sama. Saya bercerita lepas dan bercanda seperti biasa.
Saya tidak tahu mengapa saya menulis ini dan ingin dibaca oleh orang lain, jujur saya tidak biasa bercerita soal keluarga dan kehidupanku. Tetapi dalam hati kecil  ada keinginan untuk menulis ini sebagai bentuk kecintaanku kepada ibu, adikku dan keluarga di kampung dan menyampaikan kepada mereka saya rindu, ingin pulang dan berkumpul  merayakan hari raya bersama-sama.
Soal larangan mudik lebaran selalu saja ada yang bangsat untuk kita tidak bisa percaya dan selalu ada alasan-alasan lain yang membuat kita berarti. Buat dirimu baik. Percaya bahwa kamu penting dan kamu layak untuk dicintai. Karena selalu ada harapan-harapan yang membuatmu terus hidup.
Semoga pandemi cepat berlalu dan kita kembali menjalani kehidupan  dengan normal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H