Angin Bajak LautÂ
Salah satu pemicu lahirnya "bulan janda" adalah aktivitras bajak laut di Selat Makassar. Dari kajian Waren (1981) dan Lapian (2009) ditemukan pada bulan Desember, Januari, dan Februari, perahu-perahu bajak laut Lanun, Mangindanao, dan Balangingi meninggalkan Laut Sulawesi memasuki Selat Makassar menuju Laut Jawa, Selat Sunda, dan Laut Flores. Â
Kapten kapal Inggris, Thomas Forrest, yang pernah mengunjungi Kepulauan Mangindanao pada Mei 1775 mencatat bahwa penduduk kepulauan tersebut berlayar begitu jauh sampai di pantai Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa. Mereka biasanya merebut perahu apa pun yang ditemukan dalam pelayaran. Â
Penduduk yang dilewati perahu tersebut menjadi sasaran aksi bajak laut. Barang-barang mereka dirampas. Orangnya diambil menjadi pendayung atau dijual sebagai budak di negerinya. Karena itulah, pemerintah Belanda dan Inggris selalu memberikan peringatan bagi penduduk di kota-kota pantai dan kapal-kapal kecil mengenai bahaya the pirate wind (angin bajak laut), kata Owen Rutter (1987). Â
Aktivitas bajak laut di Selat Makassar menyulitkan pelaut Mandar melintasi Selat Makassar menuju pantai timur Kalimantan, Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Sulawesi, seperti ingatan kolektif penduduk Kepulauan Balabalakang. Ini membuat I Tamassala dari Tubo Sendana berlayar ke Balabalakang dengan tujuan pertama ialah Pulau Saboyang. Pulau ini punya air tawar dan sekaligus pangkalan bajak laut. Setelah tiba di sana, dia bertemu bajak laut di kawasan karang dekat Saboyang. Di sana mereka bertarung. Puluhan bajak laut terbunuh, kecuali seorang yang sengaja dibiarkan pulang agar mengabarkan kepada yang lain mengenai sang penakluk. Aksi aktivitas bajak laut pun berkurang.
Lalu, I Tamassala berlayar ke pantai timur Kalimantan. Masalah bajak laut juga melanda penduduk Tanjung Aru (sekarang Kabupaten Grogot). Dia membantu penguasa setempat mengusir bajak laut. Atas jasa itulah, ia dinikahkan dengan puteri penguasa itu. Hasilnya lahir lahir seorang putra dan putri. Â
Setelah itu, I Tamassala kembali ke Saboyang bersama keluarganya. Saat tiba di sana, aksi bajak laut kembali marak. Ia bersama Pua Cambang dan Pua Labai memberantas bajak laut. Mereka bertarung di Gusung Duian. Enam bajak laut terbunuh, dan seorang dibiarkan kembali ke Pulau Derawan. Setahun kemudian, bajak laut itu kembali dengan keluarganya, tetapi untuk bertarung, melainkan menjalin persaudaraan. Sejak itu orang Bajo diberi kesempatan tinggal di Balabalakang, kecuali Saboyang. Â Â
Fenomena ini menarik La Side lalu menulis novel Badjak Laoet (1933). Tiga tokoh utamanya adalah Nakhoda Salabangka, Marudani, dan Daeng Manjarrang. Mereka merampas perahu padewakang Bintang Timur milik nakhoda Salibu dari Majene. Setelag dicat ulang, perahu itu diberi nama baru yakni Rajawali Laut. Mereka merompak perahu Lambere Penganten di Pulau Sarappo, dalam pelayaran dari Selayar ke Binuang. Muatannya dibawa ke pantai Bulungan, Kalimantan Timur. Aksinya diketahui oleh pemerintah kolonial. Semua pelaku ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Sementara awak perahu yang sempat ditawan oleh bajak laut dibebaskan kembali ke Majene.
Kalau merujuk uraian di atas jelas bahwa sebab lahirnya bulan janda adalah (1) angin topan yang berhembus pada Januari dan Agustus dan (2) aksi bajak laut di Selat Makassar. Pendek kata, bulan janda telah mewarnai horizon sejarah Mandar berabad lamanya.
 Â