Memilih Cawapres Jokowi Yang Tepat, Kunci Kemenangannya
Penulis : Â Ir. Abdulrachim K Â - Aktivis / Pengamat
Banyak pengamat politik yang menganalisa bahwa agar mendapatkan kemenangan dalam Pilpres, sebaiknya Jokowi / PDIP menggandeng banyak partai untuk bekerja sama ( Jokowi/PDIP tidak mau menggunakan istilah koalisi ). Logikanya adalah melalui kerja sama dengan banyak partai maka diharapkan akan mendapatkan prosentase dukungan suara yang besar. Demikian pula dalam pemilihan Cawapres Jokowi, dianjurkan agar yang mampu membawa gerbong partai,supaya bisa menarik dukungan suara pemilih yang makin besar.
Jalan berpikir seperti ini benar namun tidak cocok , malahan bertentangan dengan kenyataan dilapangan dan banyak pengalaman di Pilpres2 sebelumnya. Kenyataannya, setelah berlangsungnya Pileg, mesin Partai, para Pengurus dan Caleg2 Partai benar2 kelelahan , habis tenaga, waktu dan dana yang sangat besar. Setiap Caleg menghabiskan dana ratusan juta sampai dengan milyaran, bertempur terutama ( yang paling menyakitkan ) dengan para Caleg sesama Partai,juga menghadapi kecurangan2, pencurian2 Â suara , sehingga bisa menyebabkan stres yang tinggi, apalagi bagi yang tidak berhasil mendapatkan kursi.
Oleh karena itu pada saat Pilpres , mesin Partai sudah tidak dapat diharapkan untuk bekerja lagi. Sudah kelelahan, apalagi tidak ada manfaat langsung bagi diri para pengurus atau Caleg2 itu. Pada saat Pileg , para Caleg sebenarnya bekerja demi kepentingan dirinya sendiri dengan harapan apabila terpilih maka mereka akan mendapat jabatan wakil rakyat. Karena itu mereka habis2an mempertaruhkan segalanya.
Namun pada saat Pilpres, selain mesin Partai sudah kelelahan , secara pribadi mereka tidak akan mendapat manfaat langsung dari proses Pilpres itu. Sehingga mesin Partai itu benar2 tidak dapat diharapkan untuk bekerja, karena itu dukungan suaranya pun tidak dapat diharapkan. Jadi dalam konteks Pilpres , Partai hanya bisa diharapkan sebagai pelengkap persyaratan untuk maju sebagai  Capres,yaitu  20% kursi DPR ,atau 25% suara pemilih.
Karena itu didalam Pilpres, yang menentukan kemenangan adalah ketokohan Capres dan Cawapresnya. Dalam Pilpres 2004, ketokohan SBY amat menonjol, walaupun Partai Demokrat hanya 7% dan didukung Partai2 kecil, namun menang. Demikian pula waktu 2009, bahkan bisa satu putaran. Sebaliknya Megawati, Jusuf Kalla yang didukung Partai besar malah kalah telak.
Dalam konteks Pilpres 2014, Jokowi harus mengambil pelajaran dari pengalaman2 tersebut. Walaupun Jokowi mempunyai rating yang tinggi, namun pelan2 ratingnya menurun sementara pesaing kuatnya , Prabowo , ratingnya semakin naik. Hal itu a.l. disebabkan karena ketokohan Jokowi ditingkat nasional masih kurang kuat, terutama dimasalah visi dan misinya. Sementara Prabowo dengan timnya telah menyiapkan visi dan misi sejak lama.
Karena itu Jokowi harus menggandeng tokoh nasional yang kuat sebagai Cawapres, bukan hanya visi dan misinya yang itu hanya merupakan janji2 belaka yang belum terbukti,tetapi juga punya rekam jejak yang kuat bahwa berpihak kepada ekonomi rakyat, pernah terbukti melakukan langkah2 yang bukan hanya membangun ekonomi namun juga membangun kesejahteraan rakyat ,atau singkat katanya akan konsisten menjalankan Trisakti ajaran Bung Karno dan ekonomi konstitusi serta bersih dari kasus . Tokoh nasional ini bila berpasangan dengan Jokowi  akan memperkuat ketokohan Jokowi dalam pertarungan Pilpres 2014. Walaupun mungkin belum didukung oleh Partai , namun karena sejak puluhan tahun garis keberpihakannya memang kepada ekonomi yang menyejahterakan rakyat, sangat banyak mendapat dukungan dari kaum buruh, LSM ,aktivis ,masyarakat menengah kebawah dll.
Namun apabila Jokowi memilih berpasangan  dengan Jusuf Kalla seperti yang banyak disebut oleh tim JK , maka ketokohan Jokowi justru akan tergerus ,menurun, karena JK pernah dipecat Presiden Abdurrahman Wahid  atau Gus Dur pada waktu menjadi Menteri Perdagangan dengan tuduhan KKN.
Bukan tidak mungkin ada kelompok2 masyarakat yang melaporkan  kasus KKN Jusuf Kalla yang data2 nya sudah beredar luas, ke KPK agar diselidiki . Karena memang ditengah-tengah kesulitan hidupnya akibat naiknya harga2,biaya sekolah, kesehatan dll ,masyarakat merasa tersakiti dengan perilaku korupsi yang ditunjukkan oleh para pejabat yang sedang memegang kekuasaan. Dan itu terbukti dengan hasil Pemilu yang telah menurunkan drastis perolehan suara Partai Demokrat yang para petingginya banyak yang terlibat korupsi,menunjukkan bahwa rakyat marah terhadap korupsi
Bilamana KKN Jusuf Kalla dilaporkan ke KPK, maka bukan hanya akan merusak nama baik JK, tetapi juga nama baik Jokowi yang tadinya dianggap oleh masyarakat sebagai tokoh yang pro rakyat dan bersih , bisa dianggap itu hanya sebagai pencitraan karena ternyata telah memilih pasangan yang bermasalah. Sehingga rakyat yang tadinya mencintai Jokowi ,akan berbalik menjadi memusuhinya dan menyerangnya karena selama ini rakyat mempunyai harapan yang sangat tinggi dan banyak yang dengan uang dan usaha sendiri telah berkampanye untuk Jokowi dengan sukarela.