Mohon tunggu...
abdul muiz
abdul muiz Mohon Tunggu... Wiraswasta - pedagang kayu manis

kalau hidup pahit berarti itu kurang manis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Denny Siregar dan "Ancaman" bagi Dunia Pendidikan di Tengah Covid-19

4 Mei 2020   15:32 Diperbarui: 4 Mei 2020   15:32 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Denny Siregar, Sumber: Netral News

Kemarin, masih dalam suasana Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), saya membaca sebuah cuitan dari salah seorang 'supporter' Joko Widodo dan yang belakangan ini kerap 'cawe-cawe' sama Ganjar Pranowo, Denny Siregar, yang menanggapi berita online Wartakota dengan judul "Surat Terbuka Putri AHY, Almira Yudhoyono untuk Jokowi, Minta Lockdown agar Tidak Ada lagi Korban". Dalam cuitan yang bernada negatif dan provokatif itu Denny menulis, "Bapak udah, anak udah juga. Sekarang cucu juga dikerahkan.. Kalo ada cicit, cicit juga bisa ikutan minta lockdowon".

Terlepas dari cuitan hate speech yang berlindung di balik free speech ini, Denny sebenarnya sedang menunjukkan jati diri sebenarnya. Tingkah lakunya di dunia media sosial yang tidak bisa melakukan 'thumb distancing' di tengah wabah Covid-19 menunjukkan kapasitasnya hanya sebatas buzzer. Terlihat Denny gagal menangkap substansi, bukti dirinya minim literasi.

Jika Denny mau jujur menyampaikan informasi, isi berita tersebut tak lebih dari sekedar upaya pendampingan orang tua terhadap anak yang melaksanakan tugas mandiri (school from home) di tengah pandemi corona. Sama halnya dengan kewajiban banyak orang tua saat ini dalam pengasuhan pendidikan anak di masa pandemi. Kebetulan, tugas sekolah yang didapatkan putri Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Annisa Pohan tersebut terkait pidato dalam bahasa Inggris yang menjelaskan tentang lockdown pada masa pandemi Covid-19.

Harusnya, teladan yang dibagikan AHY melalui laman Instagram pribadinya tersebut bisa dijadikan contoh bagi orang tua lainnya. Di mana pengasuhan terbaik seorang anak terletak pada bagaimana pola asuh dan pendampingan anak selama masa tumbuh kembangnya. Bukan semata-mata menyerahkan anak ke lembaga pendidikan dan melepaskan tanggung jawab kepada tenaga pendidik semata.

Bukankah selama ini kerap kita lihat diberbagai media, banyak wali murid yang menyerang bahkan mehakimi tenaga pendidik karena tidak terima dengan hukuman terhadap anaknya yang nyata-nyata membandel. Bahkan tak sedikit pula kita lihat tenaga pendidik harus mendapatkan skorsing dari upaya mereka mendidik dan menata akhlak anak-anak kita. Harusnya, momen Covid-19 ini bisa menjadi evaluasi besar kita bersama bagaimana menata pola asuh pendidikan yang sebenarnya dan lebih menghargai tenaga pendidik dalam upayanya mendidik anak-anak kita agar tak hanya berisi kepalanya tapi juga terbentuk budi pekertinya.

Hemat saya, cuitan Denny sangat berbahaya bagi dunia pendidikan. Bagaimana tidak, alih-alih mendorong daya cipta, rasa, dan karsa anak dalam belajar, Denny justru malah menjatuhkan mental anak-anak tersebut melalui ujung-ujung jarinya. Dan ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya Denny juga pernah 'meledek' anak BEM SI yang diundang dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) usai demo pada akhir 2019 lalu.

Dalam cuitannya pada 24 September 2019, Denny menulis, "kalau gua jadi mahasiswa anggota BEM, liat Ketua gua planga plongo diceramahin di ILC, karena ternyata gak paham yang didemo apa, tapi sudah sibuk ngajak2 anggota demo.. gua akan demo Ketuanya supaya cepat diganti. Bikin malu," sembari diikuti emoticon tertawa. 

Denny seolah-olah berdiri dalam kebenarannya dan melihat apa yang dilakukan oleh orang lain salah. Faktualnya, apa yang menjadi protes dari demo mahasiswa saat itu benar-benar terjadi hari ini. Salah satunya, KPK lebih gahar ketika berhadapan dengan lembaga negara dibandingkan saat berhadapan dengan institusi partai politik.

Denny tak paham, dalam filsafat ilmu terdapat berbagai macam teori kebenaran. Misalnya, pada suatu ketika ada seorang anak yang berkata bahwa 3+4=7. Keesokan harinya ia berkata lagi bahwa 5+4=7, dan kemudian keesokan harinya lagi ia berkata bahwa 6+1=7. Permasalahan sederhana ini membawa kita pada apa yang disebut dengan teori kebenaran, yaitu semua jalan yang ditempuh untuk meraih sebuah tujuan adalah sesuatu yang benar selama ia menghasilkan kesimpulan yang benar.

Mereka para pembelajar memang tempatnya salah, tapi mereka pada jalur yang tepat untuk belajar menjadi benar. Mereka para pembelajar juga bukan pribadi selalu unggul mengolah kata, diksi, dan bahasa layaknya para politisi, tapi setidaknya mereka sangat dekat dengan relaitas yang terjadi. Dunia pendidikan kita tengah menghadapi tantangan dan menuntut harus adaptif dengan kondisi pandemi. Mari menjadi inspirasi, walaupun hanya sebatas keluarga sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun