Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam sekaligus menjadi negara dengan populasi umat muslim terbesar. Berdasarkan data Pew Research Center’s on Religion and Public Life, akhir tahun 2010, penduduk muslim Indonesia berjumlah 205 juta mencapai 13% dari keseluruhan populasi umat Islam di dunia. Dengan sebegitu banyaknya jumlah umat muslim, di Indonesia pada khususnya, rupanya belum mampu mencapai kemajuan umat yang pesat. Hal ini dimungkinkan karena munculnya berbagai penyebab dan diantara penyebab tersebut, yang paling mendasari yaitu degradasi nilai-nilai keislaman pada jiwa-jiwa umat muslim sekarang. Dari 205 juta umat Islam yang ada di Indonesia, kemungkinan tidak lebih dari 10 % yang menjalankan syariat Islam dengan sebenar-benarnya.
Ajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist–SYARIAT ISLAM meliputi segala aspek di semua lini kehidupan, mulai dari politik, sosial, ekonomi, pendidikan hingga kebudayaan. Kunci utama kemajuan peradaban Islam, dulu maupun sekarang, yakni ukhuwah islamiyah yang erat antara sesama muslim. Sebagai seorang muslim, sudah sepantasnyalah menjadi muslim yang taat dan memperbanyak amal ibadah, baik sunnah maupun wajib. Namun dalam konteks ini, kita dituntut untuk memberi kebermanfaatan kepada orang lain, “Sebaik-baik seorang muslim adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain” (HR Bukhari). Kita pun wajib menularkan kebaikan, “bukan riya”, dalam artian sholeh secara umum, bukan hanya sholeh secara pribadi. Itulah ciri muslim sejati, apapun profesinya, terutama enterpreneur.
Mengapa enterpreneur? Rasulullah sendiri menyinggung dalam sebuah hadist, “Sembilan dari sepuluh pintu rejeki ada dalam perdagangan” (HR Tabrani). Dalam hal berbisnis, Rasulullah-lah sebaik-baik teladan terbaik bagi kita, bagaimana beliau merintis, mengelola, dan mengembangkan bisnis secara lurus dan bersih. Enterpreneur banyak macamnya, mulai dari creatifpreneur, technopreneur, hingga sociopreneur. Pengklasifikasian ini didasarkan atas tujuan ataupun aktifitas usaha yang digeluti. Seorang enterpreneur yang berwirausaha karena kreatifitas atau bidang desain bisa disebut creatifpreneur. Yang menggunakan ide baru–inovasi atau dalam bidang teknologi disebut technopreneur. Seorang berwirausaha karena dalam misi sosial maka disebut sociopreneur. Sosiopreneur bertujuan memberdayakan masyarakat, erat kaitannya dengan pengembangan suatu daerah (community development).
Bidang wirausaha kini sudah merambah ke berbagai kalangan. Tidak hanya orang yang sudah berusia matang saja, banyak dari kalanga remaja yang sudah berani terjun menjadi seorang wirausahawan. Alhasil, banyak bermunculan pengusaha-pengusaha sukses baru. Dan yang sebagian dari para pengusaha tersebut, merupakan pengusaha muslim. Seorang muslim yang berkecimpung di dunia wirausaha, yang menyandang predikat pengusaha muslim, idealnya bukan sekedar karena status KTP beragama Islam. Akan tetapi, pengusaha muslim seharusnya memiliki jiwa sosial yang tinggi, kepedulian terhadap lingkungan sekitar dan mendedikasikan usaha yang digelutinya untuk kemashlahatan umat. Apalagi dengan kondisi bangsa ini yang memprihatinkan.
Angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia tidak dipungkiri masih tinggi. Walaupun survey-survey menunjukkan angka yang beragam , tetapi jika dilihat realita di lapangan, masih banyak pengangguran yang susah mencari kerja dan angka PHK cenderung meningkat. Tak sulit menjumpai para pengemis, gelandangan dan anak jalanan di perempatan jalan. Dan semuanya masih tergolong dalam fakir dan miskin. Sebagaimana disebutkan dalam ayat suci Al Qur’an, surat Ar Rum ayat 38, ”Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung”. Sudah jelas termaktub dalam ayat tersebut bahwa menjadi kewajiban setiap muslim dan pengusaha muslim khususnya untuk membantu yang lemah.
Sebuah solusi riil untuk membantu meringankan beban orang-orang yang kurang mampu dapat diselesaikan salah satunya dengan mempraktekan sociopreneur. Bukan semata mengandalkan lembaga pemerintahan atas nama departemen kesejahteraan sosial. Masyarakat bergerak sendiri secara mandiri melalui pendampingan dan pemantauan. Akan menghasilkan efek ganda, yakni kesejahteraan orang lain meningkat dan menjadi nilai kewirausahaan untuk mendapat profit.
Di negara kita Indonesia contoh sukses sociopreneur sudah terbukti. Sebagai model yakni lembaga amil dan zakat seperti Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat. Kedua lembaga tersebut merupakan contoh lembaga yang awalnya merupakan inisiatif beberapa orang untuk mengadakan donasi dan voluntary untuk mengurusi masalah zakat, infak dan shodaqoh. Tapi dalam perkembangannya sangat pesat. Bisa menyerap ribuan tenaga kerja. Rumah sakit bersalin gratis, mobil jenazah keliling `dan berobat gratis di berbagai pos kesehatan yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia adalah contoh hasil nyatanya. Sehingga kemanfaatannya tentu saja bukan hanya untuk kemaslahatan umat, tetapi juga keuntungan (profit) secara finansial.
Eri Sudewo, mantan Presiden Direktur Dompet Dhuafa yang tahun 2009 silam mendapat anugerah sebagai Social Enterpreneur dari lembaga terkemuka Ernst & Young 2009 menceritakan sejak awal berdirinya Dompet Dhuafa Republika, kendala dan kesulitan yang dihadapi serta pencapaian-pencapaian di masa lalu. “Dulu, kita mengumpulkan infak dari para karyawan Harian Umum Republika, lambat laun, kita terus bergerak. Pertanyaan selanjutnya adalah, setelah dana didapatkan, mau diapakan? Itulah tantangan kita, harus membuat program kemanusiaan yang kreatif sambil tetap menjaga kejujuran dan profesionalitas.”
Dengan merendah, Eri menyampaikan bahwa apa yang didapatnya adalah hasil kolaborasi dan kerjasama yang erat dari banyak pihak. Baginya, penghargaan ini tidak akan ada artinya jika kemudian masyarakat tidak turut menerima manfaatnya. Secara khusus Eri mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang turut merintis Dompet Dhuafa dan memberikan apresasi atas berbagai prestasi Dompet Dhuafa sekarang.
Peran pengusaha muslim sebagai seorang sociopreneur maupun enterpreneur dalam arti luas, menyangkut pembangunan ekonomi ditujukan untuk memberdayakan manusia (people empowerement) agar dapat mengembangkan potensi, baik secara individual (SDM) maupun potensi lokal daerahnya (SDA). Dalam jangka panjangnya, melalui pelaku-pelaku enterpreneur muslim inilah kemajuan Islam bisa tercapai karena kontibusi nyata umat muslim kepada masyarakat. Perkembangan bisnis pengusaha muslim diikuti dengan berbagai permasalahan terkait muamalah antara pengusaha muslim dengan pengusaha lainnya, pengusaha muslim dengan pemerintah sebagai regulator atau pengusaha muslim dengan konsumen. Tentu dengan dukungan pula saudara muslim yang lain, dengan berbagai profesi. Kemudian. Sebagai penopang yaitu donatur, investor, maupun lembaga atau personal yang menyalurkan dananya untuk kepentingan umat (public). Sementara peran pemerintah lebih kepada kebijakan, tentunya kebijakan yang mendukung. Kebijakan pemerintah seharusnya ditujukan untuk mengurangi hambatan-hambatan birokrasi yang dapat menyulitkan pengusaha muslim dalam menjalankan perannya.