Mohon tunggu...
Abdi Husairi Nasution
Abdi Husairi Nasution Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Menulis membuat saya terus belajar tentang segala hal dan melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UN, 21 Tahun yang Lalu

18 April 2011   14:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:40 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13031380551228697993

Tanggal 18 April hari ini, Ujian Nasional (UN) untuk pelajar tingkat SMA/SMK kembali digelar. Betapa dada mereka deg-deg-degan menyambut hari pertama UN itu. Saya sangat tahu benar bagaimana rasanya menghadapi hari pertama ujian tersebut. Yang pertama muncul dalam pikiran adalah "Sulitkah soal-soalnya", kemudian pertanyaan lain berlanjut, "Bisakah soal-soalnya dikerjakan". Lantas nyambung lagi, "Keluar gak ya yang dipelajari semalam". Terakhir, "Bisa lulus gak ya". Semua pertanyaan itu ditujukan untuk diri sendiri, jawabnya pun jawab sendiri, maklum itu semua pertanyaan retoris. Bagi pelajar yang rajin belajar dan tak pakai rumus SKS atau Sistem Kebut Semalam, UN bisa mereka lalui dengan mudah dan gemilang. Namun pertanyaan retoris tadi tetap menghantui mereka, dan menghantui semua pelajar yang ikut UN. Saya pun demikian, UN yang saya lalui pas SMA terjadi sekitar 21 tahun yang lalu, tahun 1990 (bisa ditebak ya umur saya sekarang berapa). Waktu itu namanya bukan UN, tapi EBTANAS, kepanjangan dari Evaluasi Belajar Tahap Akhir NASional. Model ujiannya pun tetap sama, makanya saya jadi heran sendiri kok namanya berubah jadi UN atau Ujian Nasional. Bedanya, 21 tahun yang lalu itu syarat kelulusan tak dipatok oleh nilai minimal tertentu untuk lulus UN/EBTANAS. Andai syarat nilai minimal diberlakukan waktu itu, sudah dipastikan saya tak akan lulus UN atau EBTANAS. Bayangkan, Nilai EBTANAS Murni (NEM) saya tak sampai rata-rata 6, sekitar 4,8. Angka rata-rata itu tak cukup memenuhi syarat untuk lulus SMA. Bahkan, bukan saya saja yang tak lulus, teman-teman saya yang lain pun banyak tak lulus. Untunglah kebijakan pada masa itu tak seperti sekarang, NEM tak dijadikan syarat mutlak untuk lulus. Nilai akhir yang saya peroleh berasal dari penjumlahan NEM, ulangan harian kelas, dan ekstrakurikuler, serta ditambah lagi dengan nilai kelakuan saya di kelas, kemudian direrata. Hasilnya pun tertera di lembar ijazah saya, dengan nilai rata-rata mencapai angka 7,3. Angka yang tak begitu fantastis memang, tapi cukuplah untuk meloloskan saya dari jenjang SMA. Seingat saya, UN 21 tahun yang lalu itu juga tak sampai melibatkan pihak sekolah untuk berbuat curang, apalagi sampai melibatkan guru untuk meloloskan para pelajarnya dengan cara apapun. Masa itu, pelajar yang tak lulus masih bisa dihitung dengan jari, tingkat kelulusan hampir 100%. Prinsipnya, UN bukanlah nila setitik yang mampu merusak susu sebelanga. Sungguh tak lucu andai nilai UN yang tak memenuhi syarat membuat seorang pelajar jadi tak lulus, apalagi kalau selama ini dia dikenal sebagai pelajar yang berprestasi. UN bukan pula harga mati untuk menentukan pelajar itu pintar atau bodoh, berprestasi atau tidak. UN hanya sebagai salah satu alat ukur untuk menguji kompetensi seorang pelajar, tapi bukan sebagai penentu akhir, apalagi penentu masa depannya. Sumber gambar: blogmatematikaku.files.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun