Entah ini kebetulan atau tidak ketiga nama presiden Indonesia itu punya awalan dan akhiran yang sama, Soe (Su) dan O. Ketiganya juga sama-sama menjadi topik pembicaraan yang hangat di masa pemerintahannya. Mereka juga punya kesamaan dalam lamanya berkuasa di negeri ini. Bandingkan dengan Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Kekuasaan ketiga mantan presiden itu tak lebih dari seumur jagung. Untuk mempertahankan status quo-nya, Soekarno pernah mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup. Demikian pula dengan Soeharto, biar kekuasaanya tetap langgeng, dia menyulap sistem multipartai menjadi dua partai dan satu golongan karya, dengan Golkar sebagai kontestan yang selalu menang pemilu di setiap periodenya. Soeharto pun menjadi presiden terlama di Indonesia, sekitar 32 tahun. Bagaimana dengan Soesilo? Beliau sudah terpilih menjadi presiden untuk kedua kalinya. Apabila undang-undang tentang masa jabatan presiden tak diubah, tentu Soesilo bisa mengikuti jejak kedua koleganya itu. Walau ketiga presiden Indonesia tersebut memiliki kesamaan, perbedaannya pun banyak pula, terutama dalam hal gaya pemerintahan atau gaya kepemimpinan. Yang paling menonjol dari gaya kepemimpinan mereka tersebut bisa dijabarkan berikut ini. Soekarno selama berkuasa di negeri ini menjadi pemimpin yang sangat tegas, tak mau didikte oleh siapa pun, termasuk Amerika Serikat sebagai negara super power. Bahkan ia bermusuhan dengan negara-negara barat karena terlalu mendikte urusan pemerintahannya. Soekarno pun berteriak, "Go to hell with your aid". Demikian kata Soekarno suatu ketika. Bahkan Soekarno pun pernah menyatakan, "Ganyang Malaysia" gara-gara keinginan malaysia untuk mengggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak, serta tanah Kalimantan dalam Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Bisakah pemimpin sekarang berkata seperti itu? Soekarno pun punya idealisme tinggi tentang negara Indonesia yang pernah dia proklamirkan ini. Dia ingin menjadikan negeri ini menjadi negeri mandiri tanpa didikte oleh siapapun. Untuk menciptakan negeri yang dia inginkan itu, Soekarno pun belajar dari Cina, Rusia, dan India, serta menggalang persahabatan dengan ketiga negara terbesar di Asia itu. Keakraban Soekarno dengan Cina dan Rusia inilah yang buat kuping negara-negara barat panas membara, khususnya Amerika Serikat (AS). AS pun tak tinggal diam, agar kukunya tetap tertancap dan tetap berpengaruh di wilayah Asia ini, terutama Indonesia, strategi penjungkalan pun dilakukan. Mereka tak ingin Soekarno lama-lama bercokol sebagai penguasa. AS khawatir Indonesia menjadi negara komunis terbesar ketiga setelah Cina dan Rusia kala itu. Andai Indonesia menjadi negara komunis tentu musuh besar AS dan negara-negara barat lainnya pun bertambah. Menghadapi dua negara komunis saja sudah pusing, apalagi tiga, tentu lebih pusing lagi. Demikianlah kira-kira kekhawatiran AS. Strategi pun dijalankan, dan berhasil, Soekarno pun terjungkal dari kursi kekuasaannya. Soekarno disebut-sebut sebagai presiden pendukung komunis gara-gara konsep nasakomnya. Era Soeharto pun dimulai. Gaya kepemimpinan Soeharto cukup kalem, dia selalu kelihatan tersenyum meski dia menghadapi suatu masalah sekalipun. Pembawaannya tenang, kelihatan ramah jadinya. Ciri khasnya pun senyumannya itu. Ketika berhadapan dengan lawan-lawan politiknya pun dia selalu tersenyum. Saat peristiwa Malari pun, dia tersenyum. Namun di balik senyuman itu ternyata menyimpan sejuta makna dan misteri. Di balik senyumannya itu, Soeharo memerintah dengan tangan besi. Siapa yang mengganggu pemerintahannya akan dibungkam. Pada masa Soeharto lah banyak kasus orang hilang dan petrus atau penembak misterius. Jangan coba-coba berkata dan menulis sembarangan tentang pemerintahannya kalau tak mau dibui. Semua sudah diatur dalam undang-undang subversif. Kalau ada yang melanggar undang-undang ini, jangan harap bisa menghirup udara bebas, tak ada ampun pokoknya. Pers dibungkam karena dianggap dapat meresahkan masyarakat dan mengganggu stabilitas nasional. Media-media besar nasional pernah jadi korbannya, termasuk Kompas. Andai kita masih hidup di eranya Soeharto, media blogging seperti Kompasiana pun tak bakal bisa hidup. Demikianlah gaya kepemimpinan Soeharto untuk mencegah instabilitas di negerinya. Meski cara kepemimpinan soeharto merupakan neraka bagi para aktivis atau lawan-lawan politiknya, namun Soeharto menjadi berkah bagi rakyat kecil. Bagi rakyat kecil, era Soeharto merupakan era terbaik karena sembilan kebutuhan pokok yang mereka butuhkan sangat terjangkau. Harga beras murah, minyak tanah juga, bahkan harga cabai tak sampai semahal sekarang. Keamanan buat mereka pun terjamin. Yang paling membanggakan lagi, di era Soeharto, Indonesia menjadi negara paling berpengaruh dan disegani di Asia Tenggara. Tak ada negara ASEAN yang berani menyinggung Indonesia seperti yang dilakukan oleh Malaysia sekarang. Selama 32 tahun kita berjalan seperti itu. Namun, tahun 1998 semuanya berubah, pada bulan Mei di tahun itu Soeharto terpaksa mengundurkan diri. Tak ada lagi yang mendukungnya, semua berbalik memusuhinya. Krisis ekonomi lah yang mendalanginya. Pondasi perekonomian yang dirancang ternyata tak membuat sistem perekonomian Indonesia kuat. Akibat ulah spekulan seperti George Soros, rupiah pun terpuruk hingga berkali-kali lipat, dan hutang pun jadi menumpuk. Bayangkan, dalam hitungan hari rupiah yang semula cuma 2500 per dollarnya, terpuruk hingga menyentuh 18ribu per dollarnya. Tak hanya itu, korupsi ternyata hidup beranak pinak di era pemerintahan Soeharto. Demo dan kerusuhan pun terjadi di mana-mana hingga memaksa Soeharto turun dari tahtanya. Era reformasi pun menjelang. Di era reformasi, Presiden Indonesia pun silih berganti, kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi benar-benar terjamin. Semua orang bebas ngomong apa saja termasuk menghina dina para pemimpin. Namun kebobrokan mental para birokrat bawaan era Soeharto tak bisa hilang begitu saja. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih hidup dan tumbuh subur. Padahal, ketika era reformasi datang, semua bentuk kebobrokan tersebut diharap bisa lenyap. Nyatanya tidak juga. Walau kepemimpinan reformasi silih berganti selama lebih dari 10 tahun ini, tetap tak membuat Indonesia keluar dari keterpurukan itu. Tadinya, saat Soesilo diangkat menjadi presiden pilihan rakyat, banyak yang berharap semua itu berubah. Namun, harapan tinggal harapan, sosok Soesilo yang diharapkan mengubah semua kebobrokan itu tak bisa berbuat banyak. Gaya kepemimpinan Soesilo lebih kuat pada pencitraan. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dituding banyak lawan politiknya cuma sekadar lipsing. Semuanya tak seindah yang dibayangkan, semua tak seindah warna aslinya, kekecewaan makin menumpuk, hingga menunggu bom waktu saja. Itulah Soekarno, Soeharto, dan Soesilo, tiga pemimpin kita yang punya gaya masing-masing. Mana yang Anda suka dari ketiganya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H