Naik KRL atau Kereta Rel Listrik atau KA Commuter yang dikelola oleh PT KAI Commuter Jabodetabek benar-benar sengsara. Selama naik kereta itu jarang saya menemukan kenyamanan, malah kesengsaraan yang sering saya peroleh. Kenyamanan baru dapat saya nikmati kalau naik kereta Pakuan Ekspress dari Bogor hingga Stasiun Kota Jakarta, itu juga kalau naiknya bukan di jam-jam sibuk. Kalau di jam-jam sibuk naik Pakuan Ekspress pun tak ubahnya naik kelas ekonomi, berjejal-jejal kayak ikan sarden, bedanya cuma di AC doang, dan tak berhenti di tiap stasiun. Itu kalau naik Ekspress, bagaimana kalau naik KRL Ekonomi. Jangan ditanya deh, lebih sengsara lagi. Saya pernah tuh naik KRL kelas ekonomi sampai tak bisa nafas karena berjejalnya manusia di dalam KRL tersebut. Bernafas saja sulit apalagi bergerak, badan terhimpit di antara tubuh-tubuh lainnya. Bau keringat, bau ketek, bau-bau aneh lainnya dah nyatu jadi satu. Saya cuma pasrah sepasrah-pasrahnya diparfumi sama bau-bau aneh itu. Kalau Anda masuk level menengah, KRL Ekonomi AC bisa jadi pilihan. Tapi itu tak menjamin Anda bisa dapat kenyamanan lebih dibanding kelas ekonomi biasa. Anda tetap akan berjejal layaknya KRL kelas ekonomi biasa. Alat pendingin di KRL jenis itu tak akan mampu membuat Anda sejuk, yang ada malah buat panas. Maklum saja, jumlah penumpang yang over membuat alat pendingin KRL Ekonomi AC tak bisa berbuat apa-apa. Kenapa ya saya sebut alat pendingin bukan AC atau Air Conditioner? Walau disebut KRL Ekonomi AC tak berarti di dalam gerbong KRL itu dipasangi AC. AC yang dimaksud bukan Air Conditioner tapi Angin Cepoi-cepoi alias kipas angin. Seharusnya PT KAI Commuter Jabodetabek bisa dituntut tuh lewat YLKI atau di-class action karena dianggap telah membohongi publik konsumen. Sudah jelas-jelas di KRL Ekonomi AC dipasangi Kipas Angin kok tetap menyebutnya sebagai KRL Ekonomi AC, seharusnya-kan KRL Ekonomi KA (Kipas Angin). Dasar kita orang Indonesia, yang terkenal ramah tamah, pemaaf, tidak sombong, dan tak mau ribut-ribut, rela-rela sajalah disuguhi KRL Ekonomi yang katanya AC itu. Begitu juga dengan saya, sebagai orang Indonesia yang ramah tamah, pemaaf, tidak sombong, dan tak mau ribut-ribut tadi, saya pun rela-rela saja disuguhi KRL Ekonomi Kipas Angin tersebut, meskipun saya membayar tiketnya untuk jenis KRL Ekonomi AC. Untungnya, saya tak tiap hari naik KRL karena tempat saya bekerja letaknya di daerah Bogor bukan di daerah Jakarta. Jadi melawan arus kemacetan. Saya tak bisa bayangkan kalau tempat kerja saya di daerah Jakarta, tentu saya akan mengalami macet sepanjang waktu. Bisa-bisa adrenalin saya terus naik gara-gara macet. Dan naik KRL cuma saya lakukan ketika hari Sabtu saja, itupun kalau saya jalan ke Glodok atau ke daerah Kota. Kalau tidak, lebih baik saya ke kantor atau berdiam diri di rumah saja. Naik KRL di hari sabtu saja sudah bikin mumet, bagaimana dengan hari kerja. Pernah saya lihat bagaimana tak manusiawinya penumpang yang berdesak-desakan di KRL Ekonomi tersebut, bahkan hingga sampai di atas gerbong, dan itu sudah menjadi hal yang biasa. Bagi mereka, berada di atas gerbong tak lagi memikirkan bahaya, daripada telat sampai tempat kerja atau tak kebagian gerbong, lebih baik mereka menantang bahaya. Sebenarnya hal itu tak perlu terjadi kalau jadwal kereta selalu tepat waktu, dan PT KAI Commuter Jabodetabek bisa menyediakan jumlah KRL yang cukup serta memadai. Sayangnya, hal itu masih sebatas impian. Jangankan merasakan kereta super cepat seperti di Cina dan Jerman, merasakan kereta yang nyaman saja masih angan-angan yang sangat susah direalisasikan. Sumber gambar: Andri S. on picasaweb.google.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H