Mohon tunggu...
Abdi Husairi Nasution
Abdi Husairi Nasution Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Menulis membuat saya terus belajar tentang segala hal dan melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Museum Mandiri, Lebih Mirip Rumah Angker?

3 Mei 2011   17:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:06 1858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hiiii, spontan keluar dari mulut saya saat memasuki Museum Mandiri di daerah Kota di Jakarta. Bangunan peninggalan zaman Belanda itu lumayan menyeramkan, demikian kesan saya ketika sudah berada di dalam museum itu. Pengunjung masih sepi, cuma saya dan seorang bapak dengan anaknya. Tak ada petugas yang melayani seperti museum-museum di Perancis, cuma ada seorang sekuriti yang berjaga dekat pintu masuk dan petugas loket yang menyapa saat saya akan memasuki museum tersebut. Petugas itu menyapa dengan ramah melalui ruangannya. Saya sempat bingung (maklum baru pertama itu berkunjung) mencari-cari loket pembayaran tiket masuk. Untung dari sebuah ruangan ada petugas yang langsung menyapa. Ternyata ruangan itu tempat penjualan tiket masuk. Ruangan petugas loket itu lebih mirip sebuah ruang kantor kecil ketimbang loket pembayaran tiket seperti pada umumnya. Setelah bayar tiket sebesar Rp 2000, saya pun langsung bergegas menaiki anak tangga menuju pintu utama museum di lantai dasar (ground floor). Sampai di dalam museum, saya amati sekeliling ruangan di lantai dasar itu, mencari-cari informasi tertulis atau petugas informasi museum. Hasilnya nihil, saya bingung harus memulai dari mana, tak ada petunjuk khusus yang jelas, arah ke mana sebaiknya pengunjung itu harus memulai. Akhirnya, saya putuskan untuk mengacak tempat yang akan saya lihat. Dengan bermodal denah ruangan yang terdapat di lantai dasar itu (ternyata tiap lantai ada denah ruangan), saya menjelajahi area lantai dasar tersebut.

Di lantai dasar itu, ada banyak ruangan transparan, yang dibatasi dengan dinding kaca, isinya replika ukuran sebenar beberapa pegawai bank yang bertugas  dan peninggalan alat-alat yang sering digunakan dalam operasional perbankan pada masa kolonial Belanda dulu. Ada beragam mesin ketik, mesin hitung, stempel, dan beragam benda-benda perbankan lainnya seperti lembaran-lembaran bilyet giro, lembaran check, deposito, dan sebagainya. Selain itu, banyak benda perbankan lainnya yang dipamerkan di lantai dasar ini, terdapat "buku besar" yang digunakan dari tahun 1833-1837  dan mesin pembukuan rekening, ada lembaran obligasi dari masa ke masa, beragam buku tabungan dari masa ke masa, hingga aktivitas perbankan yang dilakoni oleh beragam replika pegawai bank dalam ukuran sebenarnya. Saya sempat kaget, saya pikir mereka orang benaran, ternyata cuma boneka. Ruangan di lantai dasar itu dibagi atas auditorium, ruang peralatan operasional, ruang perlengkapan bank, ATM dari masa ke masa, kasafdeeling, public hall, dan sebagainya. Di lantai dasar ini pula kita bisa masuk ke bagian safe deposit di bawah tanah (law ground). Namun saya tak langsung ke situ, saya langsung menuju lantai satu. Di lobby lantai satu, terdapat pula aktivitas perbankan untuk melayani nasabah VIP pada masa kolonial. Replikanya sangat mirip dengan orang-orang masa kolonial dulu. Ada noni-noni dan sinyo-sinyo Belanda yang sedang dilayani petugas bank. Di lantai ini terdapat ruang pertemuan besar, pintu masuknya di jaga oleh dua replika sekuriti bergaya kolonial. Di dalamnya terpampang foto-foto para pemimpin Bank Mandiri dari masa ke masa. Saya terus menelusuri lantai satu ini, yang saya cari ruangan tempat koleksi mata uang (ruang numismatik) yang pernah terbit di Indonesia, sejak masa kolonial hingga sekarang. Ketemu juga setelah melewati beberapa ruang besar seperti ruang makan direktur, ruang pamer beraneka penghargaan dan cenderamata (souvenir) promo yang pernah diterbitkan, dan ruang presiden direktur atau Presiden Factorij. Dalam ruang numismatik itu dipamerkan beragam uang yang pernah diterbitkan sejak zaman kolonial. Setelah itu, saya pindah ke ruangan lain, ada perpustakaan, ruang pamer sekuriti dan kerumahtanggaan, ruang piala, dan ruang Mandiri Club.

Sejak menelusuri lantai dasar dan lantai satu, selain saya jarang bertemu dengan pengunjung lain, cuma satu hingga dua orang anak sekolah yang berkunjung, itu pun pas kebetulan ada acara pensi (pentas seni) sebuah SMA negeri di Jakarta, tepatnya  di halaman belakang museum tersebut. Namun hingar-bingar pensi itu tak bisa menutupi kesepian dalam gedung itu. Saya pun beberapa kali nyasar ke bagian lain dari gedung museum tersebut. Tak ada tanda larangan atau forbidden bagi pengunjung apakah suatu ruangan atau lorong tertentu bisa dilalui atau tidak. Alhasil, saya nyasar beberapa kali. Saya nyasar ke bagian benda-benda tak terpakai (mirip gudang),  nyasar ke bagian ruangan yang sedang direnovasi, nyasar ke bagian yang saya tak tahu menuju ke mana, enggak tahunya ke toilet, dan saya pun balik arah. Tak ada papan petunjuk sama sekali. Jadi bingung dan nebak-nebak sendiri. Sungguh aneh ya, sebuah gedung museum sebesar itu tak punya petunjuk arah yang jelas. Selesai menelusuri lantai satu, saya langsung turun kembali ke lantai dasar dan menuju ruang safe deposit di lantai lower ground, di bawah tanah.

Ruangan safe deposit berkesan menyeramkan menurut saya, barangkali itu memang perasaan saya saja, yang cenderung penakut. Cahaya ruangnya pun remang-remang, apakah ini memang disengaja untuk menimbulkan kesan artistik agar tampak seperti aslinya seperti zaman kolonial dulu, entahlah. Tak ada pengunjung lain yang ke situ selain saya di jam itu. Ruang safe deposit itu dulunya dijadikan tempat penyimpanan benda-benda berharga milik nasabah dan aset bank. Ada replika batangan emas, uang, dan benda berharga lainnya. Beberapa ruangan diberi kerangkeng mirip di penjara. Ada beragam jenis lemari besi di ruang tersebut, mulai yang berukuran kecil hingga besar, safe deposit box pun tersusun rapi di bagian sisi ruang itu. Ada beberapa replika orang yang menunjukkan kegiatan dalam ruang safe deposit tersebut. Ada replika orang yang sedang membuka safe deposit box, ada yang sedang melayani nasabah prioritas yang akan menyimpan benda berharganya di situ, ada dua orang petugas yang sedang menandu peti uang untuk di simpan dalam ruang safe deposit itu. Semuanya kelihatan seperti aslinya.

Akibat berkesan menyeramkan tadi, Museum Mandiri jadi lebih mirip rumah peninggalan Belanda yang angker. Kesan ini memang tak sama bagi setiap orang. Ada yang menganggapnya menarik dan unik, ada lagi yang menganggapnya menyeramkan seperti anggapan saya. Suasana ruang safe deposit lah yang menguatkan hal itu sehingga menimbulkan kesan mencekam bagi saya. Kalau disuruh uji nyali di malam hari pasti saya tak berani. Suhu ruangannya cukup lembab, mungkin karena ada mesin pendingin dan letak ruang safe deposit itu yang terletak di lower ground tadi. Lampu penerang pun seadanya, remang-remang, cuma di bagian penerimaan benda berharga yang cukup terang. Kesannya jadi memang artistik meski tak mampu menghilangkan rasa cekam saya. Di situ juga terdapat dua replika yang menunjukkan aktivitas di ruang safe deposit tersebut. Yang paling mencekam perasaan saya dalam ruang safe deposit itu adalah bagian ruang tempat penyimpanan surat-surat berharga. Ruangan tempat penyimpanan surat berharga itu dipisah oleh kerangkeng, jeruji besi mirip penjara, sehingga tak sembarang orang bisa masuk. Di dalam kerangkeng itu ada beberapa replika yang menunjukkan aktivitas dalam ruang penyimpanan itu, seorang sinyo Belanda yang sedang memerintah dua orang penandu peti uang, dan didampingi oleh seorang sekuriti, mirip sekali dengan aslinya. Saya tak mau berlama-lama di ruang itu, takut ada yang menampakkan diri. Begitulah yang terlintas sekilas dalam khayal saya. Hal ini tentu saja tak terjadi karena memang tak ada yang menampakkan diri, dan memang tak ada wujud lain selain benda-benda museum yang ada di ruang tersebut.

Dari ruang safe deposit, saya naik kembali ke lantai dasar. Yang saya tak habis pikir, sebuah museum apalagi sebesar itu, tak ada satu pun petugas informasi yang bisa ditanyai. Informasi tertulis pun tak begitu bisa membantu. Tak ada penjelasan mengenai fungsi-fungsi ruang yang terdapat di Museum Mandiri tersebut. Tadinya saya berharap diberi buku panduan museum, ternyata tidak. Bahkan sekuriti pun tak saya temukan di tiap ruangan. Walau saya tahu, semua gerak-gerik saya di dalam museum itu dipantau lewat kamera pengintai, namun tak banyak membantu. Padahal ruangan sebesar itu seharusnya ada sekuriti yang hilir mudik, apalagi tak banyak pengunjung di hari Sabtu kemarin itu. Saya tak tahu apakah di hari lain Museum Mandiri cukup ramai pengunjung, bisa jadi. Saya tak tahu jumlah pengunjung museum itu secara statistik. Bagaimana seandainya ada yang berniat jahat dalam museum itu? Apakah saya bisa langsung dapat pertolongan? Mencekam, itulah yang saya rasakan saat pertama kali berkunjung ke Museum Mandiri itu. Rasa mencekam itu memang subjektivitas saya. Mungkin bagi pengunjung lain tak demikian, mungkin juga ada yang menganggapnya jadi lebih menarik. Gara-gara perasaan saya itu, Museum Mandiri jadi lebih mirip rumah angker, demikianlah yang saya rasakan. Semoga perasaan itu akan segera hilang apabila saya berkunjung untuk kali kedua, ketiga, dan seterusnya.

  • Sumber gambar : koleksi pribadi, kecuali foto paling atas: museum mandiri

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun