Demokrasi kini telah bermetamorfosis menjadi pembunuh. Demi tegaknya demokrasi dalam suatu negara, pembunuhan sepertinya menjadi hal yang lumrah dan biasa. Apakah ini sebagai dampak sampingan atau incidental learning dari penegakan demokrasi di suatu negara, mungkin saja. Faktanya, demokrasi telah bermetamorfosis menjadi pembunuh. Orang-orang dalam suatu negara rela atau terpaksa membunuh demi tegaknya demokrasi. Siapa yang memulai, penguasa yang anti demokrasi atau rakyat yang pro demokrasi? Kalau disuruh mencari jawabnya tentu sulit, seperti menjawab pertanyaan, "Mana yang duluan keluar, telur atau ayam?".
Fakta demokrasi bermetamorfosis menjadi pembunuh jelas terlihat di Timur-Tengah. Demi tegaknya demokrasi di Mesir, berapa jumlah korban yang terbunuh atau dibunuh. Kekerasan kepala penguasa, seperti Hosni Mubarak, yang ingin terus berkuasa membuat rakyat beringas. Mereka turun ke jalan, memblokade sarana-sarana vital, melakukan aksi mogok massal dengan harapan sang penguasa akan turun tahta segera, dan kekuasaan dikembalikan pada rakyat. Penguasa yang tak ingin kehilangan kekuasaannya pun menjadi gelap mata, dia memborbardir rakyatnya sendiri dengan alasan menjaga stabilitas dan keamanan nasional. Akibatnya, rakyat pun terbunuh, menjadi martir demokrasi itu sendiri. Beruntung Hosni Mubarak tak tewas dibunuh rakyatnya sendiri di akhir masa kekuasaannya.
Kejatuhan Hosni Mubarak di Mesir mengingatkan saya kembali pada peristiwa kejatuhan Soeharto tahun 1998 yang lalu. Penegakan demokrasi di Indonesia pada masa itu juga membawa korban yang tak sedikit. Banyak rakyat yang menjadi korban selama proses penegakan demokrasi tersebut. Soeharto yang berkuasa terlalu lama membuat demokrasi tak berjalan sebagaimana mestinya. Bagi Soeharto, demokrasi dianggap dapat merongrong kekuasaannya. Atas nama stabilitas dan keamanan nasional, Soeharto pun membuat berbagai kebijakan yang mampu membungkam rakyat dan lawan-lawan politiknya. Kebijakan tersebut makin represif di ujung masa kekuasaannya dan korban di pihak rakyat pun tak terhindarkan. Beruntung Soeharto tak dibunuh rakyatnya, dia masih dianggap berjasa terhadap negeri ini, terutama oleh para pengikut setianya.
Jatuhnya korban yang besar di Mesir dan Indonesia demi tegaknya demokrasi memang tak sia-sia, kedua penguasa mundur dan demokrasi di kedua negara pun tegak sudah. Apakah ini akan berlangsung terus, entahlah, hanya waktu yang akan menjawab. Namun, tak begitu dengan Suriah. nasib baik tak berpihak pada rakyat Suriah. Mereka masih memperjuangkan demokrasi di negerinya meski militer Suriah terus menembaki mereka. Militer Suriah menggunakan  senjata api dan gas air mata untuk menghadapi basis aktivis pro-demokrasi suriah di Damaskus. Penguasa Suriah menganggap para demonstran sebagai pengganggu-pengganggu stabilitas dan keamanan nasional. Jadi, mereka berhak dan wajib melakukan tindakan represif demi mengembalikan stabilitas dan keamanan nasional tersebut. Korban pun banyak yang berjatuhan. Demokrasi di Suriah pun urung tegak dan masih menjadi mimpi.
Tuntutan demokrasi di Mesir, Suriah, merambah pula ke Libya. Penegakan demokrasi di negeri kaya minyak ini lebih tragis lagi. Selain menelan korban jiwa yang banyak, fasilitas umum dan negara pun banyak yang hancur akibat perang antara milisi yang pro demokrasi dan pendukung Moammar Khadafi yang anti demokrasi. Penguasa Libya itu pun sempat sesumbar akan mempertahankan kekuasaannya sampai titik darah penghabisan. Kemarin, hal itu menjadi kenyataan, Khadafi tewas di tangan rakyatnya sendiri, setelah sebelumnya disiksa dan diseret bagai penjahat yang tertangkap basah. Sang penguasa diktator itu pun diberondong oleh rakyatnya sendiri tanpa hormat, apalagi ampun meski Khadafi sudah memohon ampun agar tak dibunuh. Tragis, itulah faktanya.
Apakah demokrasi sudah menjadi pembunuh? Demokrasi pada dasarnya tak mengajarkan manusia itu menjadi pembunuh. Malah menuntut manusia untuk adil di antara sesamanya. Apabila demokrasi dijalankan sesuai tujuan tentu tak bakal terjadi aksi saling bunuh. Sebagai konsep pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sudah sepatutnya pemimpin yang ditunjuk sebagai penguasa atau pemerintah tak berkuasa secara absolut, apalagi serakah.
Hanya saja, kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang mengambil porsi kekuasaan yang terlalu besar, cenderung tidak mampu menciptakan masyarakat yang adil dan beradab, apalagi makmur. Ironisnya, kekuasaan pemerintah yang absolut seringkali menimbulkan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Para penguasa cenderung memakmurkan orang-orang terdekat dan pendukung setianya. Fakta itulah yang terjadi di negara-negara yang saya sebutkan tadi hingga membuat rakyat marah dan berubah menjadi beringas. Andai penguasa mampu menciptakan masyarakat adil dan makmur sudah dipastikan demokrasi tak akan bermetamorfosis menjadi pembunuh meski sang penguasa berkuasa berkali-kali sampai akhir hayatnya.
Sumber gambar: politicalclowns.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H