Mohon tunggu...
Abdi Husairi Nasution
Abdi Husairi Nasution Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Menulis membuat saya terus belajar tentang segala hal dan melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lily Wahid, Koalisi, dan Nasib Suara Rakyat

16 Maret 2011   01:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:45 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13002029371025673624

Akhirnya, seperti yang sudah diduga sebelumnya, Lily Wahid dan Effendy Choirie (Gus Choi) direcall (diberhentikan) dari Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka dianggap oleh partainya, Partai Kebangkitan Bangsa sebagai duri dalam daging, dan mengancam kelanggengan koalisi. Semua itu gara-gara Lily Wahid dan Gus Choi mengambil sikap yang berbeda dari partainya saat pemungutan suara soal usul pembentukan panitia khusus angket DPR untuk mafia pajak, Selasa (22/2/2011). Keduanya mendukung pembentukan pansus, sedangkan PKB menolak. Sikap PKB ini sejalan dengan partai koalisi lainnya (kecuali Golkar dan PKS) yang tidak mendukung pembentukan pansus angket untuk mafia pajak. Pemberhentian itu merupakan puncak dari sikap keduanya yang dianggap (oleh Ketua Umum PKB) sering membuat banyak masalah selama 1,5 tahun terakhir ini (Kompas, 15 Maret 2011). Masih tak lekang di ingatan saat Lily Wahid juga mengambil sikap yang berbeda saat Pansus Century. Saat itu Lily memilih Opsi C yaitu bailout Century bermasalah ketika voting dilakukan. Hal itu bertentangan dengan opsi yang disepakati oleh partainya, yang memilih Opsi A atau bailout Century tak bermasalah. Sikap yang berbeda kala itu cuma dilakukan oleh Lily sendiri. Dia pun dihujani oleh ciuman dan ucapan selamat atas sikapnya yang dianggap kontroversial itu. Dan itu sungguh mengejutkan, Lily berani berseberangan dengan partainya. Dia tak khawatir kehilangan jabatan, karena menurut prinsipnya menjadi wakil rakyat adalah untuk memperjuangkan suara rakyat, bukan suara partai. Dia harus mempertanggungjawabkan suara rakyat yang memilihnya. Apabila keputusan partai bertentangan dengan suara rakyat, maka dia harus mengalahkan suara partai, dia tetap konsisten membela suara rakyat. Seharusnya memang demikian, seorang wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat harus dan berkewajiban membela suara dan kepentingan rakyat, bukan kepentingan dan suara partai. Lily Wahid sudah berada di jalur yang benar dan tepat. Dia benar-benar mempertanggungjawabkan suara rakyat. Sosok wakil rakyat yang ideal itu adalah sosok seperti Lily Wahid ini. Andai terdapat 350 Lily Wahid di Senayan itu maka suara rakyat akan lebih didengarkan. Sayangnya tak demikian, wakil rakyat yang duduk di kursi wakil rakyat itu cenderung mementingkan kepentingan partai dan kepentingan koalisinya. Sungguh menjadi suatu ironi, kalau Lily Wahid dan Gus Choi harus diberhentikan dari Dewan Perwakilan Rakyat hanya gara-gara mengambil sikap yang lebih pro rakyat. Andai itu benar terjadi maka esensi wakil rakyat sebagai representasi dari rakyat sudah hilang, lenyap tanpa bekas. Demikian pula dengan koalisi yang dibentuk, mereka tak lebih dari perpanjangan tangan penguasa demi mempertahankan status quo. Andai koalisi benar memperjuangkan nasib rakyat, tentu mereka akan mengambil sikap yang sama seperti yang diambil oleh Lily Wahid dan Gus Choi. Tentu mereka akan memilih pembentukan panitia khusus angket DPR untuk mafia pajak ketimbang menolaknya. Yang tak habis pikir, kenapa mereka harus menolak pansus ini, bukankah mafia pajak itu sudah berada di tingkat yang mengkhawatirkan dan menggerogoti keuangan negara? Tentu ini menimbulkan pertanyaan dan tanda tanya yang besar. Apakah ada yang mereka sembunyikan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang memenuhi otak saya selaku seorang rakyat. Sumber gambar: okezone.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun