Menjelang Pemilu, banyak capres yang jual kecap, semua ngaku nomor satu. Kampanyenya pun tak tanggung-tanggung, mengerahkan segenap tenaga dan biaya. Tak kaget lagi kalau ada yang sesumbar, kalau mau nyapres harus sedia dana minimal empat triliun.
Tapi itu dulu, lima tahun lalu. Kalau sekarang bisa lebih lagi. Kurang dari itu, kecap yang dijual pun tak bisa nomor satu. Bisa dibayangkan jadinya, tiap capres itu punya modal berapa. Kalau dari kalangan pengusaha, konglomerat pula, dana segitu sih kecil, tak seberapa bila dibanding aset yang dimiliki. Jual satu aset saja mungkin sudah tertutupi. Yang repot kalau bukan dari kalangan pengusaha, tentu pusing mikirin duit yang tak sedikit buat nyapres. Syukur-syukur kalau banyak dermawan yang nyumbang, masalah biaya pun no problemo. Tapi kalau tidak, otak pun diputar buat cari jalan. Ujung-ujungnya, semua sumber pun dihalalkan, masalah dosa urusan belakang. Yang penting bisa menang, persetan dengan semua.
Kalau modal nyapres sudah terkumpul, masalah pertama pun selesai. Sekarang, tinggal atur strategi bagaimana bisa menang. Sama halnya seperti cari modal, semua strategi pun dihalalkan. Urusan strategi diserahkan kepada tim sukses, biar mereka yang mikirin. Sang capres tinggal terima masukan, disuruh ini disuruh itu, termasuk ngember kemana-mana, semua strategi dicoba untuk menarik hati rakyat. Bila perlu mengumbar janji meski tak realistis. Masalah ngumbar janji ini, setiap capres pasti melakukannya, tinggal caranya saja yang berbeda. Ada yang elegan, sarkastis, bahkan ada yang terlalu bombastis hingga cettar membahana kemana-mana.
Untuk masalah umbar janji ini, saya jadi ingat dengan satu capres. Dalam kampanyenya kemarin, dia berjanji akan merealisasikan jalan tol trans sumatra di masa kepemimpinannya nanti kalau terpilih. Kening saya langsung berkerut, wong jalan Pantura di Jawa saja terus bermasalah dan tak tuntas-tuntas, bagaimana bisa merealisasikan tol trans sumatra. Tahu sendiri kan, kondisi geografis Sumatra lebih berat ketimbang jalur Pantura. Masalah Pantura yang relatif kecil saja sulit dituntaskan, bagaimana dengan trans Sumatra yang relatif lebih besar.
Bahkan ada yang lebih gila lagi janjinya, kelak kalau terpilih dan bisa memimpin Indonesia selama 10 tahun, capres ini bakal merealisasikan penghasilan per kapita Indonesia menjadi 12 juta per bulan. Berarti, mau tak mau, upah minimum atau UMR harus sebesar itu untuk memenuhi janjinya. Siapa yang tak mau dengan UMR sebesar itu, saya saja mau sangat. Tapi harus realistis juga sang capres, wong UMR di bawah 3 Juta saja pengusaha menjerit, bagaimana kalau 12 Juta ya, bisa kabur mereka semua. Janji itu malah buat iklim investasi di Indonesia makin suram. Bisa-bisa laju inflasi naik 1000 persen gara-gara UMR 12 Juta. Tapi, kalau memang sang capres sudah yakin benar dengan janjinya, makmur sekali rakyat Indonesia hanya dalam 10 tahun kepemimpinannya. Seorang Obama saja yang sudah dua periode menjabat Presiden AS masih terseok-seok memulihkan perekonomian negeri kekuasaannya yang terpuruk. Bagaimana dengan Indonesia ya, menuntaskan korupsi saja sulit, apalagi kemiskinan rakyatnya.
Bahkan ada lagi yang menurut saya aneh, hingga buat saya tersenyum simpul. Di hadapan warga Medan, ada capres yang berjanji, kalau kelak berkuasa, dia akan mengatasi krisis listrik di daerah itu. Krisis listrik di daerah Medan sudah bertahun-tahun berlangsung tanpa ada solusi. Bahkan sejak 30 tahun lalu saat saya sekolah di Medan dulu krisis listrik sudah menghantui warga Medan dan sekitarnya, tapi tak ada satupun solusi yang bisa mengatasinya. Kalau memang sang capres tahu cara mengatasinya, kenapa tak sekarang saja diusulin ke pemerintah, untuk apa harus tunggu berkuasa dulu. Kayak pendekar silat saja, turunin ilmunya kok sedikit-sedikit.
Sudahlah, semuanya juga maklum, setiap capres pasti jual kecap nomor satu, meski mereka tahu kecap yang mereka jual itu rasanya hambar dan bakal tak bisa dinikmati oleh rakyat. Keinginan mereka cuma satu, bagaimana caranya bisa berkuasa. Masalah janji yang tak bisa ditepati kelak, bisa dicari beragam alasannya. Cari alasan itu sangat gampang, tak perlu sekolah tinggi untuk membuatnya. Saran saya, berhati-hatilah dengan capres-capres yang bisanya cuma jual kecap, track record mereka bisa di-googling, searching saja nama mereka di Mbah Google, pasti ketahuan deh siapa mereka, berkualitas atau tidak. Masa lalu mereka juga bisa dipertimbangkan, apakah pernah buat sengsara rakyat atau tidak. Kalau pernah, carilah alternatif lain. Kalau tak cocok semua, apa boleh buat, golput juga satu pilihan, meski tak saya anjurkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI