Mohon tunggu...
Abdi Husairi Nasution
Abdi Husairi Nasution Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Menulis membuat saya terus belajar tentang segala hal dan melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Kritikan Dianggap Sebagai Penghinaan

14 Juli 2015   14:43 Diperbarui: 14 Juli 2015   14:43 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada bulan Maret 2015, Sarpin Rizaldi - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melaporkan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki dan komisioner KY Taufiqurahman Sauri ke Bareskrim Polri. Pak Sarpin menganggap keduanya telah mencemarkan nama baiknya soal putusan praperadilan yang diajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (Kompas.com - Senin, 30 Maret 2015).

Putusan hakim Sarpin memang kontroversial di kalangan penegak hukum sendiri. Waktu itu, Hakim Sarpin memutuskan bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK tidak sah. Hakim Sarpin juga menganggap bahwa KPK tidak berwenang mengusut kasus Budi. Hakim Sarpin tentu punya interpretasi sendiri tentang hukum, demikian juga dengan para penegak dan pakar hukum lainnya juga punya interpretasi sendiri menyangkut putusan Hakim Sarpin tersebut. Masing-masing punya standar sendiri mengenai apa yang mereka anggap benar dan tidak. Hakim Sarpin menganggap putusannya sudah benar, karena sesuai dengan hukum yang berlaku, demikian pula dengan para pengkritiknya merasa sudah benar juga.

Terlepas dari benar atau tidaknya putusan Hakim Sarpin, laporan sang hakim beberapa bulan yang lalu itu kini membuahkan hasil. Bareskrim cepat tanggap, terlapor sudah ditetapkan sebagai tersangka karena adanya alat bukti. Alat bukti yang menguatkan penetapan tersangka itu antara lain tulisan di media massa yang menurut pelapor telah mencemarkan nama baiknya dan keterangan saksi ahli bahasa serta ahli pidana. Alat bukti tersebut sudah dianggap cukup untuk menetapkan terlapor menjadi tersangka (Kompas.com - Jumat, 10 Juli 2015).

Media pun kembali ramai setelah penetapan tersangka kedua anggota Komisi Yudisial tersebut. Para ahli atau pakar hukum pun kembali ramai juga, masing-masing memberikan argumennya sesuai dengan kapasitas kepakarannya. Hakim Sarpin pun demikian, dia memberikan argumennya sesuai dengan apa yang dipahami dan interpretasikannya. Dia menganggap bahwa apa yang dikritik dan ditulis di media massa mengenai putusannya itu, dapat dianggap sebagai bentuk penghinaan atau pencemaran nama baik, karena Hakim Sarpin merasa dipojokkan oleh para pengkritiknya tersebut seolah-seolah dia salah dalam mengambil keputusan hukumnya. Kredibiltasnya sebagai seorang penegak hukum pun merasa diragukan dan dilecehkan sehingga dapat memengaruhi pandangan publik atas kapasitasnya sebagai seorang hakim. Hakim Sarpin pun merasa nama baiknya dicemarkan sebagai seorang pakar hukum.

Perseteruan antara Hakim Sarpin dan dua anggota Komisi Yudisial itu kembali membuktikan pada saya bahwa hukum kita masih abu-abu, masih bisa diperdebatkan, dan dinterpretasikan secara bebas. Kalau seandainya kedua anggota Komisi Yudisial tersebut divonis bersalah dan terbukti bersalah akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan kebebasan mengeluarkan pendapat di negeri ini. Kritikan akan bisa dianggap sebagai bentuk penghinaan dan pencemaran nama baik kalau tidak disenangi oleh orang yang dikritik. Apalagi kalau kritikan itu dianggap memojokkan orang yang dikritik.

Kalau sudah begitu, tak hanya Hakim Sarpin yang bisa menggugat atau melaporkan seseorang itu ke pihak kepolisian karena kritikan yang tidak disenangi, saya pun dapat berbuat hal yang sama kalau ada yang mengkritik saya dan saya anggap kritikan itu bisa mencemarkan nama baik dan kredibilitas saya, apalagi kalau sampai meragukan kepakaran saya. Bahkan semua orang pun bisa berbuat hal yang sama juga, termasuk para wakil rakyat dan pejabat pemerintahan seperti Presiden dan menteri-menterinya. Apalagi kedua lembaga negara itu tak pernah luput dari kritikan baik kritikan yang lembut, keras, sopan, dan tidak sopan. Tak jarang juga kedua lembaga negara itu mendapat kritikan dan kecaman yang sangat melecehkan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik diartikan sebagai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Kalau ditambah awalan me- kata kritik akan berubah menjadi kata kerja "mengkritik", yang berarti mengemukakan kritik atau mengecam. Tindakan mengecam berarti merupakan bentuk kritikan juga meski terdengar ekstrim.

Jadi lupakanlah kalau selama ini kritikan itu dianggap sebagai hal yang positif, yang bisa membangun dan menyempurnakan tindakan atau karya seseorang. Kini, kritikan juga bisa dianggap sebagai bencana bagi seseorang. Saya jadi membayangkan, ketika suatu saat, negeri ini akan bebas dari kritikan, bukan karena semua sudah benar dan sempurna, tapi karena orang-orang takut menyuarakan pendapatnya sendiri.

Sumber ilustrasi: http://quotes.lifehack.org/media/quotes/quote-Malcolm-X-if-you-have-no-critics-youll-likely-25351.png   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun