13 Februari 12 tahun yang lalu, di sebuah telepon umum, Jalan Condet Raya ....
Gagang telepon kuangkat, dan kutekan beberapa angka, nada panggil pun terdengar di gendang telingaku, tak lama kemudian muncul sebuah suara seorang perempuan menyambut.
"Assalamu'alaikum", sapaku
"Wa'alaikumussalam", jawab suara perempuan itu di ujung sana.
"Halo, Zia ya", tanyaku memastikan suaranya.
"Bener, ini siapa, Bang Adi ya", tebak Zia begitu mendengar suaraku
"Iya", jawabku pendek
"Ya, ada apa Bang, tumben nih nelpon, tadi kan dah ketemu", kudengar suara Zia di gagang telepon.
"Iya, ada yang mau diomongin nie", jawabku standar.
"Ngomong apa Bang", balas Zia.
"Gak bisa di telpon Zi, mau ngomong langsung aja di depan Zia, gak enak kalo lewat telpon, soalnya penting sekali, besok ada acara gak", tanyaku lagi.
"Besok gak bisa Bang, mau ngajar privat di Kalibata", jawab Zia tanpa bermaksud menolak.
"Mau ngomong apa sie Bang, sekarang aja", lanjut Zia memaksa.
Rasa penasaran tentu menyelimut benak Zia waktu itu. Telepon dariku memang tak biasa, dan baru kali itu aku menelepon Zia. Biasanya, komunikasi kami lakukan secara langsung karena hampir setiap hari aku ketemu Zia di sekolahan.
Akhirnya, paksaan Zia agar kubuka mulut saat itu juga, luluh. Sedikit ragu dan gugup, terlontarlah kata-kata yang selama ini kupendam.
"Zi, mau gak jadi pasanganku, aku suka sama Zia", pernyataan pendek ini terlontar begitu saja, tanpa mengira bakal ada penolakan. Sedikit lega memang begitu kata-kata itu keluar dari mulutku.
"Aduh Bang, Zia belum bisa jawab, kenapa gak ngomong dari dulu sie", balas Zia dari ujung telepon.
"Besok aja deh kita ketemu, pulang Zia ngajar, kita omongin lagi", lanjut Zia lagi.
Rasa kecewa pun menguasaiku, namun dalam hati, aku tetap memberi harapan pada diriku sendiri. Ucapan penolakan belum keluar dari mulut Zia. Barangkali dia masih perlu pertimbangan sebelum menjawab isi hatiku.
Hari itu, aku baru memiliki keberanian untuk menyatakan perasaanku pada Zia setelah beberapa lama mengenalnya. Padahal, aku dan Zia selalu bertemu, setiap hari, di sekolah itu, di sekolah kecil yang didirikan adik ibuku di sudut kampung Condet, di bibir kali Ciliwung.
Sejak awal bertemu aku sudah tertarik pada Zia. Dia lebih menonjol dibanding guru-guru lainnya. Dia lebih arif dan disenangi anak-anak muridnya. Ada kharisma dalam dirinya yang membuat anak-anak itu nempel kayak perangko.
14 Februari 12 tahun yang lalu, di sebuah halte, di depan Pasar Minggu ....
Seperti yang sudah dijanjikan, Aku dan Zia pun bertemu esok harinya, di sebuah halte di depan Pasar Minggu. Aku menyambutnya dengan sukacita, sambil menyunggingkan senyum selebar mungkin. Setelah kami duduk di halte itu, pernyataanku yang kemarin kulontarkan lagi.
"Zia udah ada yang punya Bang", jawab Zia seketika.
Aku menyembunyikan rasa terkejutku, seolah-olah seperti tak terjadi apa-apa, berusaha tenang meski hati dirudung kekecewaan.
"Ya udah gak apa-apa Zi, kita temenan aja", jawabku setenang mungkin.
"Kalo boleh tau siapa sie pacar Zia itu", tanyaku ingin tahu.
"Yang berdiri di depan Zia sekarang", jawab Zia sambil tersenyum.
_____________________________________________________
Penulis: Abdi Husairi Nasution + Indrian Koto, Nomor : 111
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Cinta Fiksi dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Kolaborasi Cerpen Valentine
Silahkan bergabung di FBFiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H