"Besok gak bisa Bang, mau ngajar privat di Kalibata", jawab Zia tanpa bermaksud menolak.
"Mau ngomong apa sie Bang, sekarang aja", lanjut Zia memaksa.
Rasa penasaran tentu menyelimut benak Zia waktu itu. Telepon dariku memang tak biasa, dan baru kali itu aku menelepon Zia. Biasanya, komunikasi kami lakukan secara langsung karena hampir setiap hari aku ketemu Zia di sekolahan.
Akhirnya, paksaan Zia agar kubuka mulut saat itu juga, luluh. Sedikit ragu dan gugup, terlontarlah kata-kata yang selama ini kupendam.
"Zi, mau gak jadi pasanganku, aku suka sama Zia", pernyataan pendek ini terlontar begitu saja, tanpa mengira bakal ada penolakan. Sedikit lega memang begitu kata-kata itu keluar dari mulutku.
"Aduh Bang, Zia belum bisa jawab, kenapa gak ngomong dari dulu sie", balas Zia dari ujung telepon.
"Besok aja deh kita ketemu, pulang Zia ngajar, kita omongin lagi", lanjut Zia lagi.
Rasa kecewa pun menguasaiku, namun dalam hati, aku tetap memberi harapan pada diriku sendiri. Ucapan penolakan belum keluar dari mulut Zia. Barangkali dia masih perlu pertimbangan sebelum menjawab isi hatiku.
Hari itu, aku baru memiliki keberanian untuk menyatakan perasaanku pada Zia setelah beberapa lama mengenalnya. Padahal, aku dan Zia selalu bertemu, setiap hari, di sekolah itu, di sekolah kecil yang didirikan adik ibuku di sudut kampung Condet, di bibir kali Ciliwung.
Sejak awal bertemu aku sudah tertarik pada Zia. Dia lebih menonjol dibanding guru-guru lainnya. Dia lebih arif dan disenangi anak-anak muridnya. Ada kharisma dalam dirinya yang membuat anak-anak itu nempel kayak perangko.
14 Februari 12 tahun yang lalu, di sebuah halte, di depan Pasar Minggu ....