Mohon tunggu...
Abdi Husairi Nasution
Abdi Husairi Nasution Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Menulis membuat saya terus belajar tentang segala hal dan melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Museum Fatahillah, Museum Gaul Anak Muda Jakarta

9 Mei 2011   18:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:54 3360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Museum Fatahillah atau dikenal juga dengan Museum Jakarta pantas disebut sebagai museum gaul anak mudanya Jakarta. Julukan ini menurut saya sangat pas, karena pengunjungnya rata-rata kebanyakan anak-anak muda yang datang dari segala penjuru Jakarta, bahkan ada juga yang berasal dari sekitar dan luar kota Jakarta. Demikian yang saya saksikan hari Sabtu 7 Mei 2011 kemarin saat menjajaki museum tersebut. Di museum itu mereka bertemu dengan teman-teman baru. Di usia muda, memang sudah sewajarnya mereka punya banyak teman, mereka lebih open atau terbuka dan luwes. Tak sedikit dari mereka yang ingin mencari jodoh atau pacar. Bagi yang sudah punya pasangan atau pacar, Museum Fatahillah dapat menjadi tempat kencan yang murah meriah sekaligus bisa menambah pengetahuan. Cukup bayar 2000 Rupiah per orang, mereka bisa puas menjelajahi museum tersebut sambil bergandengan tangan. Bagi para orang tua yang membawa anak-anaknya, Museum Fatahillah bisa dijadikan sarana belajar untuk mengenal sejarah Jakarta dan nasional. Berbeda dengan Museum Mandiri yang saya kunjungi seminggu sebelumnya. Museum Fatahillah yang terletak tak jauh dari Museum Mandiri dan Stasiun Jakarta Kota itu jauh dari kesan angker dan seram. Ruang-ruang museum lebih terbuka karena banyaknya jendela sehingga pertukaran udara dan angin lebih leluasa. Cahaya siang pun leluasa menerangi ruangan museum. Padahal tak jauh dari pintu masuk, ada diorama dalam ukuran sebenarnya yang menggambarkan tentang pelaksanaan hukuman mati yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap para penentang pemerintah. Dalam diorama itu, dua orang penentang sedang menghadapi hukuman gantung di depan seorang prajurit Belanda. Kesannya memang sadis dan menakutkan, namun para pengunjung tak terlalu memikirkan. Banyak di antara mereka yang memanfaatkan diorama tersebut menjadi latar untuk foto-foto. Padahal di setiap dinding ruangan sudah ada peringatan larangan untuk foto-foto. Namun tak menyurutkan pengunjung untuk tetap foto-foto. Petugas yang ada pun tak melarang kegiatan tersebut. Saya pun heran kenapa pihak museum melarang pengambilan foto di dalam museum. "Barangkali untuk melindungi isi museum dari jarahan", demikian pikir saya. Gedung Museum Jakarta dulunya adalah sebuah Balai Kota (bahasa Belanda: Stadhuis). Gedung tersebut dibangun selama periode tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn. Arsitekturnya menyerupai Istana Dam di Amsterdam, yang  terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah pada tanggal 30 Maret 1974. Museum Fatahillah atau Museum Jakarta banyak memamerkan peninggalan-peninggalan sejarah yang berkaitan dengan sejarah Jakarta. Di museum tersebut kita akan menemukan beragam perabotan dan perlengkapan makan pada masa kolonial yang sering digunakan oleh masyarakat Betawi. Replika prasasti-prasasti yang sangat terkenal pun bisa kita temukan di sana, ada prasasti Ciareteun, prasasti Tugu, prasasti Kebon Kopi I, dan prasasti Muara Cianten. Lukisan-lukisan hasil repro para petinggi kolonial juga bisa ditemukan di Museum Jakarta. Bahkan beberapa peninggalan masa pra sejarah atau masa manusia purba dapat kita saksikan di museum tersebut. Yang paling menarik bagi saya adalah perabotan-perabotan antik dari bahan jati seperti tempat tidur, meja makan, hingga kursi tamu yang masih tampak kuat dan kokoh. Barang pecah belah seperti piring makan, tempat minum, hingga beragam guci dan gentong tak ketinggalan pula. Semuanya masih tampak utuh dan bisa digunakan. Namun di antara semua benda peninggalan sejarah yang terdapat dalam Museum Jakarta, yang paling banyak dikunjungi atau dilihat para pengunjung adalah Meriam Si Jagur. Meriam ini sangat unik bila dibandingkan dengan meriam-meriam lain yang ada di Museum Jakarta. Keunikannya akan saya ceritakan pada bagian tulisan lain. Agaknya saya perlu menuliskan secara khusus tentang meriam Si Jagur yang banyak menarik perhatian para pengunjung tersebut, terutama di kalangan anak-anak muda atau remaja, baik remaja putri maupun remaja putra. Banyak di antara mereka yang berfoto-foto di dekat Si Jagur tersebut. Malah ada juga yang memegang dan menaiki punggung Meriam Si Jagur. Padahal di situ sudah jelas disebutkan bahwa pengunjung dilarang menyentuh meriam, apalagi menaikinya. Meriam Si Jagur diletakkan di bagian belakang Museum Jakarta. Tak jauh dari Si Jagur, terdapat pula tiga meriam lain peninggalan kolonial lainnya. Di halaman depan Museum Fatahillah juga terdapat empat meriam, dan satu buah meriam terdapat di dalam museum. Sayangnya, kecuali Si Jagur, tak ada informasi lain yang menjelaskan tentang meriam-meriam tersebut. Lingkungan Museum Fatahillah bisa dikatakan sebagai lingkungan wisata yang lengkap. Tak jauh dari museum tersebut, Anda juga bisa menemukan Museum Wayang dan Museum Seni Rupa. Dari ketiga museum tersebut yang keburu saya kunjungi hanya Museum Fatahillah  dan Museum Wayang. Dalam sehari itu saya tak sempat mengunjungi Museum Seni Rupa. Tak apalah, masih ada hari Sabtu lain. Selain Museum Wayang dan Museum Seni Rupa, Anda pun bisa wisata kuliner. Tak jauh dari Museum Fatahillah terdapat Cafe Batavia yang terkenal. Namun tak banyak yang berkunjung ke Cafe tersebut untuk melepas lapar, mungkin harganya tak terjangkau oleh kebanyakan orang. Para pengunjung lebih suka melepas makan siangnya di lapak-lapak penjaja makanan yang murah meriah. Mau mie ayam bakso ada, mau ketoprak ada, nasi goreng juga ada, sate ayam dan sate daging apalagi. Kalau pengen gulali juga tersedia. Rata-rata semuanya makanan rakyat yang sangat terjangkau. Kalau ingin berkeliling daerah Kota Tua Jakarta, di sekitar Museum Fatahillah juga banyak yang menyewakan sepeda onthel, lengkap dengan topi ala noni-noni dan sinyo-sinyo Belanda. Saya tak sempat tanya berapa harga sewa sepeda onthel tersebut, apakah hitungan jam atau seharian sampai puas. Walau Museum Fatahillah tak menyediakan informasi yang lengkap tentang koleksi peninggalan sejarah yang dimilikinya, namun para pengunjung tak terlalu ambil pusing. Hiruk pikuk di sekitar museum sudah cukup mengalihkan perhatian mereka. Toh mereka sepertinya sudah cukup mendapat informasi yang tertera di beberapa benda peninggalan sejarah meski tak semuanya ada. Dan jangan harap juga Anda mendapat penjelasan dari petugas informasi yang standby di dekat-dekat benda sejarah yang akan Anda lihat, kecuali kalau Anda beserta rombongan sudah memesan jauh hari seorang guider dari pihak museum. Agaknya itulah kelemahan dari museum kita. Seandainya tak disediakan petugas informasi di setiap koleksi dan lokasi, paling tidak ada semacam buku saku (minimal brosur) yang bisa dijadikan pedoman, semacam katalog koleksi dari museum bersangkutan. Buku saku atau brosur itu perlu ada, biar para pengunjung tak datang sia-sia.

  • Sumber gambar: Koleksi Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun