Tahun ini, tahun pertama anak saya merayakan Hari Kartini. Tahun lalu, saat di TK, dia belum merayakan Hari Kartini seperti di sekolahnya sekarang. Hari Kartini tahun ini benar-benar dirayakan secara meriah di sekolahnya. Beberapa hari sebelumnya, bundanya sudah menyiapkan pakaian nasional yang akan dipakainya pada perayaan Hari Kartini di sekolahnya itu. Ada dua jenis pakaian nasional yang dipilih bundanya. Satu pakaian nasional dari Sumatera Barat atau Minang, satunya lagi pakaian dari Jawa (Tengah). Masing-masing pakaian cukup bagus saat dicobakan ke tubuh anak saya. Dua-duanya pantas dia kenakan. Saat mengenakan pakaian Minang, anak saya seperti orang Minang asli. Saat mengenakan pakaian Jawa (Tengah), anak saya seperti anak Solo. Walau anak saya tahu kalau dia bukan berasal dari dua daerah itu, namun dia sangat bangga mengenakan dua pakaian nasional tersebut. Dia tersenyum bangga memakainya meski dia berdarah Batak-Mandailing dan Betawi. Tapi, saat perayaan Hari Kartini tadi pagi itu, anak saya harus memilih salah satu dari dua pakaian nasional tadi. Akhirnya dia memilih pakaian Minang, alasannya lebih praktis dan berwarna merah, warna kesukaannya. Pas saya tanya kenapa tak pakai pakaian Jawa, anak saya mengatakan kalau pakaian Jawa tak bisa membuatnya bebas bergerak karena harus memakai kain (batik) untuk bawahannya. Jadi jalannya tak bisa cepat-cepat atau buru-buru. Namun dia sangat senang memakai blangkonnya. Dia terus memakainya sepanjang malam kemarin. Sayangnya, tadi pagi, saya tak sempat melihat anak saya mengenakan pakaian nasional yang dipilihnya. Saya harus buru-buru berangkat kerja karena sudah kesiangan. Tapi saya yakin, pakaian itu sangat pas dikenakan anak saya. Di sekolahnya, setiap anak memeragakan pakaian nasional yang mereka pakai. Seperti diberitahu anak saya malam kemarin, dia akan memeragakan pakaian nasionalnya seperti seorang peragawan, berjalan di atas catwalk di depan teman-teman, guru-guru, dan orang tua murid yang hadir, dan itu dilombakan. Selain lomba pakaian nasional, anak saya itu juga ikut lomba baca puisi. Puisi yang akan dia bacakan sudah dipersiapkan sebelumnya, temanya tentang semangat juang Kartini. Kata bundanya, anak saya berlatih semangat. Ketika saya memintanya untuk membaca puisinya kembali, dia langsung menolak, malu katanya. Semoga dia bisa melewati lombanya dengan baik, demikian doa saya dalam hati. Walau saya tak berharap banyak apakah anak saya akan menang atau tidak, yang penting dia sudah berani tampil di depan umum. Sorenya, istri saya, si sang Bunda telepon, dia memberitahukan kalau anak saya berhasil memenangkan lomba puisinya. Dia meraih penghargaan sebagai pembaca puisi terbaik. Senangnya hati ini mendengar kabar itu, karena dulu, saat saya seusianya, saya tak punya kepercayaan diri untuk tampil di depan umum. Maklum, tak ada yang mendorong saya untuk berani tampil di depan banyak orang, apalagi berpartisipasi dalam lomba-lomba semacam itu. Untung anak saya tak demikian, saya dan istri saya selalu mendorong dan mendukungnya. Sepulang kerja, saat sampai di rumah, saya langsung menggenggam piala kemenangannya. Walau tak seberapa besar piala itu, namun saya sangat senang atas prestasi yang dicapai anak saya tersebut. Paling tidak, dia tak mengikuti jejak saya sebagai anak yang pemalu, rendah diri, dan selalu sendiri. Selamat Hari Kartini Nak. Sumber gambar; wikipedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H