Mohon tunggu...
Abdil Tsabit F
Abdil Tsabit F Mohon Tunggu... Mahasiswa - halo

12345

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Demokrasi di Indonesia dari Masa ke Masa

6 Oktober 2021   13:50 Diperbarui: 7 Oktober 2021   05:59 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di sini kemudian terjadi proses penghapusan budaya Indonesia yang bergaya egaliter dan demokratis dan menggantinya dengan gaya feodalistik, yang dimungkinkan berkat adanya dua hal penting (Suharso, 2002). Pertama, dengan mengintegrasikan, membersihkan, dan menyatukan birokrasi negara dan militer di bawah satu komando yang sama. 

Upaya ini membuka jalan bagi pengembangan dan penyampaian logika baru dalam feodalisme budaya bangsa Indonesia secara nyata dan operasional. Logika dan penjelasan baru ini semakin menemukan momentumnya terkait dengan kenyataan bahwa di satu sisi masyarakat yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi yang sangat serius, dan di sisi lain, obsesi negara untuk membangun pertumbuhan ekonomi sebagai basis pengentasan kemiskinan.

Kedua, penguatan suatu negara juga membutuhkan upaya untuk menghilangkan politik massa. Partisipasi politik yang terlalu luas dan tidak terkendali dianggap bisa membahayakan stabilitas politik, yang merupakan conditio sine qua non bagi kelanjutan berlangsungnya pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, keterlibatan negara melalui aparat birokrasi dan militer dilegitimasi untuk menjangkau seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Kemudian stabilitas pembangunan ekonomi diidentikkan dengan stabilitas nasional. Secara perlahan-lahan konsep stabilitas nasional menyebar ke dalam logika anti kritik dan anti konsep. 

Sebagai logika anti kritik, stabilitas nasional erat kaitannya dengan masalah keamanan dan memiliki banyak fungsi untuk mendukung terselenggaranya mekanisme kekuasaan negara. Sebagai logika anti konsep, stabilitas nasional dikaitkan dengan masalah legitimasi dan berfungsi banyak untuk mendukung seni mengelola otoritas kekuasaan negara (Geertz, 1980). 

Yang terjadi selanjutnya adalah sentralisasi peran negara yang dipersonifikasikan melalui Soeharto, MPR, DPR, Pers, Partai Politik, Ormas, dan hampir seluruh institusi sosial politik kenegaraan yang "dipasung" secara sistematik di bawah kendali negara oleh Soeharto. Yang lahir dalam keadaan seperti itu adalah demokrasi semu, “demokrasi jadi-jadian”. Paradoks demokrasi ini akhirnya runtuh pada 21 Mei 1998.

Era Reformasi

Pada masa reformasi, Aspinall (2004) mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami saat yang demokratis. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi terus berlanjut. Kehebohan reformasi memberi secercah harapan bagi munculnya sistem kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan munculnya banyak Partai Politik baru, kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan lain sebagainya, yang merupakan ciri demokrasi. Reformasi politik dibutuhkan karena adanya optimism terhadap perbaikan pelaksanaan demokrasi.

Namun, di balik dinamika reformasi yang penuh akselerasi tinggi, tampaknya belum banyak kekuatan sosial politik yang benar-benar memiliki kesungguhan untuk menggelindingkan demokrasi. Meski berbagai lembaga pembangun demokrasi telah terbentuk selama ini, tetapi masih banyak paradoks demokrasi di sana-sini. Demokrasi yang dibangun dan dipahami  mengacu pada demokrasi yang bersifat prosedural daripada demokrasi yang mengacu pada nilai-nilai.

Menurut Suharso (2002), saat ini ada beberapa paradoks demokrasi yang perlu dikritisi. Pertama, berkembangnya kekerasan politik, pelanggaran hukum, radikalisme, konflik massa yang sering kali diikuti dengan pertempuran fisik secara kolektif, pemaksaan kehendak, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya yang sebenarnya mencerminkan perilaku yang tidak demokratis. Ketakutan politik diam-diam tumbuh di berbagai kalangan masyarakat, termasuk mereka yang kritis, hanya karena merasa berbeda dengan kekuatan politik yang ada. Demokrasi hampir tidak menjadi domain pikiran dan kebijaksanaan untuk menoleransi perbedaan.

Kedua, perkembangan konspirasi politik yang sangat pragmatis dengan mereka yang sebelumnya anti demokrasi, yang diwarnai dengan semangat kuat hanya untuk memenangkan Pemilu tanpa keterlibatan serius dalam mengagendakan demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun