Mohon tunggu...
Abdillah Hasan W
Abdillah Hasan W Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Someone who want to be better person

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030132

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dikit-dikit kok Mental Health?

16 Juni 2021   08:46 Diperbarui: 16 Juni 2021   09:05 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Contohnya saja ada anak-anak yang sedang main game dan disuruh orang tuanya membeli barang di warung lalu anak tersebut membuat status media sosial WhatsApp dengan caption "lagi asik-asik ngegame malah diganggu #brokenhome". 

Ada juga yang memfoto tugas sekolahnya lalu ditulisi caption, "merusak mental health". Hal ini membuat geram banyak pihak karena terlalu menyepelekan frasa mental illness dan membuat persepsi masyarakat menjadi menyepelekan frasa tersebut.

inkedscreenshot-3-li-60c955e5d541df5c4b034602.jpg
inkedscreenshot-3-li-60c955e5d541df5c4b034602.jpg
Self-love pun begitu, banyak orang yang menjadikan self-love sebagai tameng untuk bertindak semena-mena kepada orang lain. Contohnya ketika orang tua sedang bekerja di rumah dan membutuhkan bantuan, anaknya malah main sampai tak tau waktu dengan dalih self-love.

Saya rasa, hal tersebut kurang bijak jika dilakukan. Mengingat banyak orang di luar sana yang benar-benar mengalami sakit mental karena beberapa hal yang sedang mereka alami. Mereka yang benar-benar mengalami sakit mental malah cenderung diam dan mengobati lukanya sendiri sampai sembuh. Mereka tidak ke psikiater atau psikolog karena takut dilabeli oleh masyarakat sekitar sebagai orang gila.

Pola asuh anak yang salah mengakibatkan kesalahan-kesalahan lainnya yang dilakukan anak

Perkembangan teknologi yang semakin pesat, pola asuh orang tua dalam mendidik anak, serta berbagai konten yang tidak ada filternya membuat anak-anak dengan mudah memikirkan dan melakukan hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. 

Banyak anak yang berbicara sesukanya di media sosial tanpa memperhatikan efek yang ditimbulkan akibat dari perbuatannya tersebut. Hal ini tidak sepenuhnya salah si anak karena orang tua juga berperan penting dalam mendidik anak dan melakukan pengawasan terhadap kelakuan si anak. Namun sayangnya, banyak orang tua yang sibuk dengan urusan pekerjaannya sehingga mereka tidak sempat mendidik anak dengan baik.

Banyak anak yang sudah diberi kebebasan untuk memiliki dan menggunakan perangkat elektronik terutama smartphone. Para orang tua melakukan ini karena mereka tidak mau ribet mengurusi anaknya yang terus menerus bergerak aktif (menangis, lari-larian, berteriak-teriak, merengek-rengek meminta sesuatu, dll). Namun, hal ini saya rasa kurang baik apabila dilakukan pada anak di bawah umur. Karena mereka belum terlalu paham mengenai baik-buruk suatu tindakan yang mereka lakukan di dalam smartphone.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak menormalisasikan frasa mental illness, atau apapun itu tentang kesehatan mental pada hal-hal yang sebenarnya sepele. Akan tetapi, tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan hal apa yang sedang kamu alami saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun