Mohon tunggu...
Abdillah Fajar
Abdillah Fajar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Manajemen/Universitas Multimedia Nusantara

Saya adalah mahasiswa Manajemen dengan minat dalam desain grafis, fashion, musik, teknologi, dan isu lingkungan. Aktif di Instagram, saya membagikan gaya hidup, karya desain, dan inspirasi fashion dengan pendekatan kreatif dan modern.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Pilihan di Antara Kita

25 Januari 2025   01:44 Diperbarui: 25 Januari 2025   01:44 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar Siluet Pria dan Wanita (Sumber: shutterstock.com)

Penulis: Abdillah Fajar

Awal Pertemuan di Kota Kecil

Kota kecil di Massachusetts tempat aku tinggal selalu memiliki pesonanya sendiri. Jalanan berbatu, toko-toko kecil dengan papan nama kayu yang usang, serta udara musim semi yang membawa harum bunga liar dari taman-taman sekitar. Ini adalah tempat yang jauh dari gemerlap dunia, namun penuh dengan kehangatan. Di sinilah kehidupanku berputar, sederhana namun tenang, hingga suatu hari segalanya berubah karena kehadiran Dewi Maharani.

Aku pertama kali bertemu Dewi di perpustakaan kecil yang terletak di sudut jalan utama kota. Perpustakaan itu adalah tempat favoritku untuk menghabiskan waktu, bukan karena aku pecinta buku sejati, melainkan karena suasananya yang menenangkan. Rak-rak kayu tua yang dipenuhi buku, suara lembut lembaran kertas yang dibalik, dan sesekali aroma kopi dari kafe kecil di sebelahnya selalu membuatku merasa damai.

Hari itu, seperti biasa, aku sedang duduk di salah satu sudut ruangan dengan buku fiksi di tanganku. Ketika aku mengangkat pandangan, aku melihat seorang wanita berdiri di dekat rak filsafat. Rambut panjang hitamnya tergerai, dan dia mengenakan kemeja putih sederhana dengan celana jins. Ada sesuatu dalam cara dia memiringkan kepala, mencoba membaca judul buku, yang membuatku tak bisa mengalihkan pandangan.

"Kamu suka buku ini?" tanyaku akhirnya, memberanikan diri untuk membuka percakapan. Dia menoleh, tampak sedikit terkejut, lalu tersenyum.

"Aku belum pernah membacanya, tapi sepertinya menarik," jawabnya sambil menunjukkan buku di tangannya, sebuah karya tentang filsafat eksistensialisme.

Percakapan itu berlanjut, awalnya canggung, tetapi lama kelamaan mengalir dengan mudah. Aku tahu sejak saat itu bahwa Dewi bukanlah wanita biasa. Caranya berbicara tentang ide-ide besar, tentang mimpi-mimpinya, membuatku merasa seperti aku berada di dunia yang lebih luas dari sekadar kota kecil ini. Dia memiliki cara pandang yang berbeda, seolah-olah dia selalu mencari sesuatu yang lebih besar, lebih bermakna.

Kami mulai sering bertemu di perpustakaan itu. Awalnya hanya kebetulan, tetapi kemudian menjadi kebiasaan. Aku akan datang lebih awal, berharap melihatnya lagi, dan ketika dia datang, dia akan menyapa dengan senyum yang selalu bisa mengubah hariku. Kami berbicara tentang banyak hal, dari buku hingga film, dari filosofi kehidupan hingga mimpi-mimpi yang ingin kami capai.

Dewi adalah seseorang yang selalu penuh dengan energi. Dia bercerita tentang mimpinya untuk menjelajahi dunia, meninggalkan jejaknya di tempat-tempat yang bahkan belum pernah kudengar sebelumnya. "Aku ingin melihat lebih banyak, Andy. Dunia ini terlalu besar untuk hanya tinggal di satu tempat," katanya suatu hari sambil menatap ke luar jendela perpustakaan.

Aku, di sisi lain, merasa nyaman dengan hidupku di kota kecil ini. Aku mencintai rutinitasku, pekerjaan kecilku di toko buku milik temanku, dan hubungan akrab dengan orang-orang di sekitar. Tetapi, setiap kali aku bersama Dewi, aku merasa seperti seorang pelancong di dunia baru, sebuah dunia yang penuh kemungkinan.

Waktu berlalu, dan hubungan kami semakin dekat. Kami mulai bertemu di luar perpustakaan, berjalan-jalan di taman kota, atau sekadar duduk di bangku kayu dekat danau kecil di pinggiran kota. Setiap momen bersamanya terasa seperti hadiah, sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dewi mengajarkanku untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda, untuk bermimpi lebih besar, meskipun aku tahu dalam hati bahwa aku tidak pernah memiliki keberanian seperti dia.

Suatu malam, ketika kami duduk di bawah langit yang dipenuhi bintang, aku akhirnya mengungkapkan perasaanku. "Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini, tapi aku rasa aku jatuh cinta sama kamu, Dewi," kataku, suaraku hampir berbisik.

Dewi terdiam sejenak, lalu menoleh padaku. Matanya, yang biasanya penuh semangat, tampak lembut malam itu. "Aku juga, Andy," katanya sambil tersenyum.

Itu adalah awal dari hubungan kami. Segalanya terasa sempurna, seperti dunia hanya milik kami berdua. Aku mencintainya dengan cara yang sederhana, memberinya perhatian kecil seperti membawakan kopi kesukaannya atau mengajaknya ke tempat-tempat favoritku di kota ini. Dan Dewi, dengan segala impiannya, membuatku merasa seperti aku juga bisa menjadi bagian dari dunia yang lebih besar.

Namun, jauh di lubuk hati, aku tahu ada perbedaan besar antara kami. Aku melihat masa depan yang sederhana di kota kecil ini, sedangkan Dewi selalu berbicara tentang dunia di luar sana. Tetapi pada saat itu, aku tidak peduli. Yang penting adalah kami bersama, dan aku ingin percaya bahwa cinta kami cukup untuk mengatasi segalanya.

Kisah awal pertemuanku dengan Dewi adalah tentang keajaiban dan harapan, tentang bagaimana seseorang bisa datang ke dalam hidupmu dan mengubah cara pandangmu. Tetapi seperti yang aku pelajari kemudian, tidak semua kisah yang indah memiliki akhir yang bahagia. Dan pertemuan di perpustakaan kecil itu hanyalah awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan cinta, harapan, dan luka.

Impian dan Harapan yang Berbeda

Hubungan kami terus berkembang setelah malam itu di bawah langit penuh bintang. Dewi dan aku semakin sering menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita dan harapan tentang masa depan. Kota kecil kami menjadi latar dari kebahagiaan sederhana yang kami nikmati, seperti berjalan-jalan di taman, makan es krim di bawah sinar matahari, atau membaca buku bersama di perpustakaan yang mempertemukan kami. Tapi di balik semua itu, perlahan-lahan perbedaan mulai terlihat.

Dewi memiliki mimpi besar yang sering dia ceritakan dengan semangat menyala. "Andy, kamu pernah bayangin nggak, gimana rasanya tinggal di kota besar? Tempat di mana semua orang sibuk mengejar mimpi mereka, dan kamu bisa jadi bagian dari itu?" tanyanya suatu sore ketika kami duduk di bangku taman yang menghadap ke danau.

Aku hanya tersenyum, berusaha memahami mimpinya meski aku sendiri tidak merasakannya. "Mungkin menarik, tapi aku suka di sini. Aku suka ketenangan kota kecil ini. Rasanya... seperti rumah yang nggak pernah berubah," jawabku, jujur dari hati.

Dewi mengangguk, tapi aku bisa melihat keraguan di matanya. Dia selalu berbicara tentang dunia yang lebih besar, tentang tempat-tempat yang ingin dia kunjungi, dan kehidupan yang jauh dari kota kecil kami. Aku, di sisi lain, merasa nyaman dengan rutinitas sederhana: bekerja di toko buku, berbincang dengan tetangga, dan menikmati hidup tanpa tekanan besar.

Ketika kami mulai berpacaran, perbedaan itu tampaknya tidak masalah. Kami saling melengkapi, atau setidaknya aku berpikir begitu. Aku mencintai Dewi dengan cara yang sederhana, memberinya perhatian kecil seperti membawakan kopi kesukaannya atau mengajaknya ke tempat-tempat yang menurutku indah. Dewi, dengan impiannya yang besar, membuatku merasa seperti aku bisa menjadi bagian dari dunia yang lebih luas.

Namun, seiring waktu, perbedaan visi kami mulai menjadi nyata. Dewi semakin sering berbicara tentang keinginannya untuk meninggalkan kota kecil ini. "Andy, aku nggak bisa selamanya di sini. Rasanya seperti dunia ini terlalu sempit untukku. Aku ingin pergi ke tempat di mana aku bisa menemukan diriku yang sebenarnya," katanya dengan nada yang serius.

Aku berusaha mendukungnya, meski dalam hatiku ada rasa cemas yang tak bisa kuabaikan. Bagaimana jika aku tidak cukup untuknya? Bagaimana jika aku menjadi penghalang dalam perjalanan hidupnya? Pikiran-pikiran itu mulai menghantuiku, terutama ketika Dewi tampaknya semakin yakin dengan keputusannya untuk meninggalkan kota ini suatu hari nanti.

Ketegangan itu tidak muncul dalam bentuk pertengkaran, melainkan dalam jeda-jeda kecil di antara percakapan kami. Aku mulai merasa bahwa ada jarak yang perlahan tumbuh di antara kami, meski kami masih saling mencintai. Kami mencoba mengatasi perbedaan itu, tetapi aku tahu bahwa cinta saja mungkin tidak cukup untuk menyatukan dua orang yang memiliki mimpi berbeda.

Salah satu momen yang paling kuingat adalah ketika kami berjalan-jalan di pasar malam kota. Dewi tampak bahagia, tetapi di tengah keramaian itu, dia tiba-tiba berhenti dan menatapku. "Andy, kamu tahu kan, aku sayang sama kamu? Tapi aku nggak tahu apakah aku bisa bahagia di sini selamanya. Aku butuh sesuatu yang lebih," katanya dengan suara pelan.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sebagian dari diriku ingin memintanya untuk tinggal, tetapi aku tahu itu tidak adil. Aku mencintainya, dan aku ingin dia bahagia, meskipun itu berarti kehilangan dia.

Hubungan kami masih dipenuhi dengan momen-momen bahagia, tetapi bayang-bayang perbedaan visi kami selalu ada di sana, seperti awan gelap yang menggantung di langit cerah. Aku mulai menyadari bahwa cinta kami sedang diuji, dan aku tidak tahu apakah kami bisa melewati ini bersama.

Hari Itu di Taman

Matahari sore memancarkan sinar hangat, menciptakan bayangan panjang di jalan setapak taman. Angin ringan membawa harum bunga liar, namun aku tak bisa menikmatinya. Aku duduk di bangku kayu yang biasa menjadi tempat kami berbagi cerita. Di sebelahku, Dewi, wanita yang aku cintai lebih dari apa pun, memandang ke arah danau dengan mata yang sulit kubaca.

"Andy, kita perlu bicara," ucapnya, memecah keheningan. Suaranya lembut, tetapi aku tahu ada sesuatu yang berat di balik kata-kata itu.

Aku menoleh padanya, mencoba membaca ekspresinya. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Dewi?" tanyaku, meskipun aku sudah menduga jawabannya.

Dia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana... Aku nggak pernah bermaksud menyakitimu, Andy. Kamu tahu itu, kan?"

Hati kecilku mulai remuk. "Kalau benar nggak berniat, kenapa kamu pilih dia? Apa aku kurang cukup?" tanyaku dengan suara yang bergetar.

Dewi menunduk, menghindari tatapanku. "Ini bukan soal cukup atau nggak cukup. Devin... dia menawarkan sesuatu yang aku nggak lihat di hubungan kita. Dia bisa membawaku ke dunia yang selalu aku impikan," jawabnya dengan nada penuh penyesalan.

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. "Jadi, aku ini hanya bagian dari cerita masa lalumu? Sesuatu yang bisa kamu tinggalkan begitu saja demi impianmu?" tanyaku, suara penuh emosi.

Dia menatapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Andy, kamu adalah bagian penting dari hidupku. Tapi aku nggak bisa mengorbankan mimpiku. Aku nggak mau suatu hari nanti aku menyesali keputusan untuk tinggal di sini hanya karena aku takut kehilanganmu."

Aku mengalihkan pandangan, menatap danau yang tenang di depan kami. Perasaanku campur aduk, antara marah, kecewa, dan putus asa. "Kamu tahu, Dewi, aku selalu berpikir cinta kita cukup untuk mengatasi segalanya. Tapi mungkin aku salah."

Dia menyentuh tanganku, lembut tapi penuh arti. "Aku akan selalu mengingatmu, Andy. Kamu mengajarkan aku banyak hal, termasuk bagaimana mencintai seseorang dengan tulus. Tapi kita harus merelakan ini... merelakan kita."

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kata-kata Dewi adalah luka yang tak terucapkan, namun sekaligus sebuah pelajaran. Ketika dia bangkit dari bangku, aku hanya bisa menatap punggungnya menjauh, membawa serta mimpi-mimpi yang dulu kuharapkan bisa kami jalani bersama.

Sore itu di taman, aku kehilangan seseorang yang paling aku cintai. Tapi aku juga menemukan sesuatu---sebuah kenyataan bahwa cinta tidak selalu berakhir dengan kebersamaan.

Luka yang Membekas

Kehilangan Dewi seperti badai yang merusak segalanya dalam hidupku. Hari-hari setelah perpisahan itu terasa seperti lorong gelap tanpa ujung. Aku bangun setiap pagi dengan harapan samar bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk, bahwa aku akan melihat senyumnya lagi di perpustakaan atau mendengar tawanya saat kami berjalan-jalan di taman kota. Namun, kenyataan selalu menghantamku keras, mengingatkanku bahwa dia telah pergi.

Rutinitasku yang dulu terasa nyaman kini berubah menjadi pengingat menyakitkan akan kebersamaan kami. Toko buku tempat aku bekerja, yang dulu menjadi pelarian dari kebosanan, sekarang hanya dipenuhi kenangan tentang Dewi. Rak-rak buku yang kami susuri bersama, meja kecil tempat dia sering menungguku sambil membaca buku---semuanya berbicara tentangnya, seolah-olah dunia ini sengaja dirancang untuk membuatku ingat bahwa aku telah kehilangan seseorang yang pernah menjadi pusat duniaku.

Aku mencoba melanjutkan hidup seperti biasa. Aku tetap membuka toko setiap pagi, menyusun buku-buku di rak, dan melayani pelanggan dengan senyum palsu. Tapi ketika toko sepi, pikiranku selalu melayang kembali ke masa lalu. Aku teringat saat Dewi berbicara dengan penuh semangat tentang mimpinya, tentang dunia yang ingin dia jelajahi. Aku teringat malam-malam ketika kami berbicara tentang segala hal, dari buku hingga kehidupan, dengan candaan dan tawa yang kini hanya tinggal bayangan.

Ada saat-saat di mana aku merasa terjebak dalam lingkaran tak berujung dari rasa kehilangan dan kerinduan. Suatu hari, ketika aku sedang berjalan di taman, aku tanpa sadar menuju bangku kayu tempat kami terakhir kali bersama. Duduk di sana, aku merasa seperti bisa mendengar suara Dewi, mengulang kata-kata yang telah menghancurkan hatiku. "Kita harus merelakan ini... merelakan kita." Kata-kata itu terngiang-ngiang, menyayat hatiku seperti pisau tajam.

Namun, di tengah rasa sakit itu, aku mulai menyadari sesuatu. Aku mulai melihat bahwa perpisahan kami bukan tentang kurangnya cinta. Dewi mencintaiku, aku tahu itu. Tapi cinta saja tidak selalu cukup untuk menjembatani perbedaan besar dalam visi dan impian. Dia membutuhkan sesuatu yang lebih besar daripada apa yang bisa aku tawarkan. Dan meskipun itu sulit untuk diterima, aku tahu bahwa aku tidak bisa memaksanya untuk tinggal.

Ada momen introspeksi yang mendalam ketika aku merenungkan apa yang sebenarnya aku inginkan dari hidup ini. Aku menyadari bahwa meskipun aku mencintai Dewi, aku tidak pernah benar-benar memahami mimpi-mimpinya. Aku terlalu sibuk mencintainya dengan cara yang aku tahu, tanpa mempertimbangkan apa yang sebenarnya dia butuhkan. Aku ingin dia tetap di sini, tapi aku tidak pernah bertanya apakah dia akan bahagia tinggal bersamaku di kota kecil ini.

Malam-malamku dihabiskan dengan merenung, menulis catatan-catatan kecil yang kadang hanya berisi pertanyaan tentang apa yang salah dalam hubungan kami. Dalam proses itu, aku mulai melihat bahwa kehilangan Dewi bukanlah akhir dari segalanya. Aku mulai memahami bahwa cinta sejati adalah tentang membiarkan orang yang kita cintai menemukan kebahagiaannya, bahkan jika itu berarti kita harus kehilangan mereka.

Pelan tapi pasti, aku mulai menerima kenyataan. Aku mencoba mencari kebahagiaan dalam hal-hal kecil, seperti membaca buku di perpustakaan atau membantu pelanggan yang datang ke toko. Aku mulai menulis, sesuatu yang selalu ingin kulakukan tetapi tidak pernah punya keberanian. Tulisan-tulisanku sering kali tentang Dewi, tentang bagaimana dia mengajarkanku untuk bermimpi dan melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda.

Kehidupan di kota kecil ini tetap berjalan, meskipun aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang. Tetangga-tetanggaku masih menyapaku dengan ramah, dan teman-teman di toko buku selalu mencoba menghiburku. Tapi aku tahu bahwa ini adalah perjalanan yang harus kulalui sendiri, perjalanan untuk menemukan diriku di tengah kehilangan yang menghantui.

Suatu hari, saat aku sedang merapikan rak buku, aku menemukan buku yang dulu Dewi baca ketika kami pertama kali bertemu. Buku tentang filsafat eksistensialisme yang memulai percakapan kami. Aku membuka halaman pertama, dan di sana aku menemukan catatan kecil yang dia tinggalkan: "Hidup ini bukan tentang menemukan tempat yang nyaman, tapi tentang berani mengejar apa yang membuat kita hidup." Membaca kata-kata itu, aku merasa seperti Dewi sedang berbicara langsung padaku.

Aku memutuskan untuk menjadikan kata-kata itu sebagai panduan hidupku. Aku tahu bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Aku harus belajar untuk menerima bahwa Dewi telah memilih jalan hidupnya, dan aku juga harus menemukan jalanku sendiri.

Rasa sakit kehilangan Dewi mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang. Tapi aku mulai melihatnya bukan sebagai luka yang membebani, melainkan sebagai bagian dari perjalanan hidupku yang membentuk siapa aku sekarang. Dewi mengajarkanku banyak hal, dan aku akan selalu mengenang waktu kami bersama sebagai salah satu bagian terindah dalam hidupku.

Menerima Takdir

Hari itu, kabar yang selama ini aku takutkan akhirnya datang. Aku mendengar dari seorang pelanggan tetap di toko buku bahwa Dewi akan menikah dengan Devin. Kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutnya, seperti sesuatu yang biasa. Tapi bagi telingaku, itu seperti petir yang menghantam di tengah hari yang cerah. Aku hanya bisa tersenyum tipis dan mengangguk ketika dia berbicara, berusaha menyembunyikan guncangan di dalam diriku.

Sepanjang hari, aku merasa seperti berjalan di atas kabut. Toko yang biasanya menjadi tempat perlindunganku kini terasa asing. Buku-buku di rak yang dulu sering kubaca bersama Dewi seperti menertawakanku dalam diam. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan pekerjaan, tetapi hatiku tetap berat. Malam itu, aku pulang lebih awal, duduk sendirian di apartemen kecilku sambil memandangi langit-langit.

Pernikahan Dewi bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Aku tahu dia telah memilih Devin, seseorang yang bisa membawanya ke dunia yang dia impikan. Tapi mengetahui itu dan menerima kenyataannya adalah dua hal yang berbeda. Rasanya seperti luka lama yang kembali menganga, mengingatkanku bahwa ada bagian dari hidupku yang tidak akan pernah menjadi milikku lagi.

Hari-hari berikutnya, aku mencoba mencerna kabar itu perlahan-lahan. Aku berjalan ke taman tempat kami terakhir kali bersama, duduk di bangku yang sama, dan memandang danau yang tenang. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri: Apakah aku benar-benar mencintainya dengan tulus? Jika ya, mengapa aku merasa begitu sulit untuk merelakannya pergi?

Aku menyadari bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki seseorang, tetapi tentang memberikan mereka kebebasan untuk memilih jalan hidup mereka. Dewi telah membuat pilihannya, dan meskipun itu bukan jalan yang aku harapkan, aku tahu bahwa aku harus menghormatinya. Aku tidak ingin menjadi seseorang yang menahan seseorang yang dia cintai, bahkan jika itu berarti aku harus berdamai dengan rasa sakitku sendiri.

Dengan tekad baru, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sulit: memilih hadiah untuk pernikahannya. Aku berjalan menyusuri toko-toko di kota kecil ini, mencoba menemukan sesuatu yang bisa menjadi simbol dari kebahagiaan dan keikhlasanku. Setelah berjam-jam mencari, aku menemukan bingkai foto sederhana dengan ukiran kayu di pinggirnya. Tidak mewah, tetapi memiliki kesan hangat yang menurutku cocok untuk Dewi.

Di rumah, aku duduk dengan bingkai itu di tanganku, berpikir keras tentang pesan yang ingin aku tuliskan untuknya. Aku ingin mengatakan begitu banyak hal, tetapi aku tahu bahwa kata-kataku harus sederhana, tulus, dan penuh harapan. Setelah beberapa lama, aku akhirnya menuliskan pesan ini di secarik kertas kecil:

"Dewi,
Aku harap perjalananmu membawa kebahagiaan seperti yang selalu kamu impikan. Terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku. Aku belajar banyak darimu tentang mencintai dan bermimpi. Selamat menempuh hidup baru.

--- Andy"

Saat aku melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam bingkai, aku merasa ada beban yang sedikit terangkat dari dadaku. Mungkin ini adalah langkah pertama menuju keikhlasan yang sejati.

Hari pernikahan Dewi tiba, tetapi aku memutuskan untuk tidak hadir. Aku tahu melihatnya dalam balutan gaun pengantin, tersenyum bahagia di samping Devin, akan terlalu berat bagiku. Sebagai gantinya, aku meminta salah satu teman di toko buku untuk mengantarkan hadiah itu kepadanya.

Di malam hari, aku duduk di apartemenku, menyalakan lilin kecil di meja, dan menatap keluar jendela. Aku membayangkan Dewi sedang berdansa dengan Devin di pesta pernikahan mereka, dikelilingi oleh tawa dan kebahagiaan. Gambaran itu menyakitkan, tetapi di saat yang sama, aku merasa lega. Dia akhirnya mendapatkan apa yang dia cari, dan aku belajar menerima bahwa itu adalah bagian dari hidup.

Malam itu, aku menulis di jurnalku, sesuatu yang sering kulakukan untuk menenangkan pikiranku. Aku menulis tentang pelajaran yang aku pelajari dari hubungan ini:

"Cinta sejati bukan hanya tentang memiliki seseorang, tetapi juga tentang membiarkan mereka menemukan kebahagiaan, bahkan jika itu berarti kita harus melepaskan mereka. Dewi mengajarkanku bahwa mencintai seseorang berarti merelakan mereka mengejar impiannya, meskipun itu membawa mereka jauh dariku."

Dengan setiap kata yang kutulis, aku merasa seperti aku sedang menyembuhkan diriku sendiri. Rasa sakit itu masih ada, tetapi aku tahu bahwa itu adalah bagian dari proses. Aku tidak akan pernah melupakan Dewi atau apa yang dia berikan padaku. Tapi aku juga tahu bahwa hidup ini terus berjalan, dan aku harus menemukan kebahagiaan dalam jalanku sendiri.

Ketika lilin kecil itu akhirnya padam, aku merasa ada semacam keheningan yang menenangkan di hatiku. Aku telah menerima takdirku, meskipun sulit. Dan aku tahu bahwa suatu hari nanti, aku akan bisa melihat kembali kenangan tentang Dewi tanpa rasa sakit, hanya dengan rasa syukur atas cinta yang pernah kami miliki.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun