Di zaman yang dikelilingi oleh internet dan teknologi ini, sosial media sudah menjadi seperti kebutuhan pokok dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi muda atau gen z. Platform sosial media seperti Twitter, TikTok, Instagram, dan Facebook tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai wadah untuk membangun identitas/personal branding, mengekspresikan diri, dan berbagi pengalaman. Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan penting: Benarkah penggunaan sosial media berpengaruh terhadap kecemasan dan overthinking di kalangan penggunanya?
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa interaksi di media sosial dapat memicu perasaan cemas dan memicu overthinking. Berdasarkan penelitian Mardiana dan Maryana (2024) yang menemukan bahwa 60-70% remaja yang menggunakan TikTok dalam durasi tinggi cenderung mengalami peningkatan tingkat stres dan gangguan kecemasan. Itu disebabkan karena pengguna sosial media sering kali melihat postingan/unggahan yang menampilkan momen-momen bahagia orang lain, pencapaian orang lain, dan gaya hidup orang lain yang mewah. Hal ini dapat menimbulkan perasaan yang tidak baik, di mana pengguna sosial media merasa cemas dan tidak puas dengan hidup mereka sendiri, dan merasa bahwa hidup mereka tidak sebanding dengan apa yang mereka lihat di sosial media. Penelitian menunjukkan bahwa perbandingan sosial ini dapat memicu kecemasan, terutama ketika individu merasa tertekan untuk memenuhi standar yang tidak realistis. Selain itu, sosial media seringkali menciptakan ekspektasi untuk selalu tampil sempurna agar mendapatkan validasi dari pengguna lainnya, yang menjadikan pengguna sosial media harus menampilkan versi terbaik dari diri mereka, baik dalam hal penampilan maupun pencapaian. Hal ini dapat menyebabkan pengguna sosial media stres dan merasa cemas, terutama ketika si pengguna sosial media merasa bahwa mereka tidak memenuhi harapan tersebut.
Overthinking sering kali muncul sebagai respon terhadap interaksi di sosial media. Pengguna sosial media mungkin terus-menerus memikirkan arti dari komentar atau reaksi dari pengguna lain terhadap postingan mereka. Proses berpikir yang berulang ini dapat mengganggu konsentrasi dan produktivitas sehari-hari. Banyak pengguna sosial media merasa lelah secara emosional karena terus-menerus berusaha memahami dinamika sosial yang kompleks. Hal ini dapat mengakibatkan seseorang tidak mampu untuk menikmati momen-momen sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengatasi kecemasan dan overthinking akibat penggunaan media sosial, penting bagi individu untuk menerapkan beberapa strategi pengelolaan. Salah satunya adalah menetapkan batasan waktu penggunaan media sosial. Dengan membatasi waktu online, individu dapat mengurangi paparan terhadap konten yang memicu kecemasan dan memberikan diri mereka ruang untuk fokus pada aktivitas lain yang lebih positif. Mengembangkan kesadaran diri juga merupakan langkah penting dalam mengatasi dampak negatif media sosial. Praktik mindfulness dapat membantu individu mengenali saat-saat ketika mereka mulai terjebak dalam pola pikir berlebihan. Dengan melatih diri untuk tetap fokus pada saat ini, pengguna dapat mengurangi kecenderungan untuk merenungkan pengalaman negatif.
Secara keseluruhan, pengaruh media sosial terhadap kecemasan dan overthinking adalah fenomena kompleks yang memerlukan perhatian serius. Meskipun media sosial menawarkan banyak manfaat dalam hal relasi dan informasi, penting bagi pengguna untuk menyadari potensi dampak negatifnya terhadap kesehatan mental mereka. Dengan menerapkan strategi pengelolaan yang tepat, individu dapat menggunakan media sosial dengan cara yang lebih sehat dan produktif, sehingga mengurangi risiko kecemasan dan overthinking yang sering kali menyertainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H