Setiaptanggal 21 mei rakyat Indonesia memperingati peristiwa bergulirnya kekuasaan orde baruyang dipimpin Soeharto, melalui sebuah kekuatan massa yang besar, peristiwa yanglazim disebut reformasi.
Semenjak lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan negara, Indonesia menaruh harapan besar kepada reformasi. Sistem-sistem korup yang dipelihara Soeharto beserta kroni-kroninya diharapkan akan hilang dan berganti dengan sistem yang transparan dan jauh dari sifat koruptif, hutang-hutang Indonesia yang mengggunung bisa terkikis habis, politik yang dimiliki dan dikuasai segelintir “golongan”dapat diikuti oleh siapapun, pembunuhan, penangkapan dan pelanggaran kemanusiaan akan terhapuskan.
Namun ada yang mengejutkan menjelang peringatan 13 tahun reformasi pada tahun ini, sebuah survei yang dirilis oleh Indo Barometer pada menyatakan bahwa mantan Presiden Soeharto menjadi Presiden yang paling Populer mengalahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini.
Lima puluh persen dari responden survei percaya bahwa kehidupan mereka tidak membaik, sementara lebih dari sepertiga memilih Soeharto sebagai presiden favorit mereka. Hasil survei dari Indo Barometer ini menyatakan 36,5 persen responden memilih Soeharto sebagai presiden pilihan mereka, diikuti oleh SBY (20,9 persen), Soekarno (9,8 persen), Megawati Soekarnoputri (9,2 persen), BJ Habibie (4,4 persen) dan Abdurrahman "Gus Dur" Wahid (4,3 persen) .
Yang lebih mengejutkan lagi adalah Survei tersebut juga menunjukkan bahwa 40,9 persen responden dari kedua daerah pedesaan dan perkotaan mengatakan bahwa rezim Orde Baru di bawah Soeharto lebih baik dari era reformasi. Hanya 22,8 persen mengatakan bahwa era reformasi lebih baik dari periode sebelumnya, sedangkan 3,3 persen lebih memilih Orde Lama di bawah Soekarno.
Hasil survei dari Indo Barometer tersebut apakah telah menyatakan bahwa reformasi reformasi telah gagal?. Mungkin saja, Empat presiden yang mengawal langkah reformasi ternyata gagal menyaingi prestasi pak harto seorang diri.
Kegagalan reformasi bisa terlihat dari cita- cita reformasi yang seharusnya adalah perubahan demi perbaikan. Tetapi reformasi saat ini hanya merupakan perubahan kekuasaan atau pergantian penguasa. Setelah sekian lama berjalan, reformasi tidak menghasilkan perbaikan bagi nasib bangsa. Di mana letak kesalahannya? Pertama para penggagas reformasi kurang memiliki wawasan dan analisis yang tajam seharusnya mereka menyadari bahwa target reformasi adalah kekuasaan yang telah begitu lama membentuk jaringan yang kuat dan luas. kita lihat mulai dari presiden, beberapa anggota dewan, beberapa menteri-menteri dikabinet dan para birokrat yang saat ini menjabat adalah orang-orang “binaan” Orde Baru.
Kedua, para penggagas reformasi kurang memiliki kesadaran manajemen koflik. Reformasi pada dasarnya adalah konflik antara dua pihak. Di satu pihak berdiri kekuatan statusquo, di pihak lain satu kekuatan yang melawan statusquo, yang menuntut perubahan. Dalam nhal ini kasusnya sebanding dengan perjuangan kemerdekaan dulu. Ketika masih berjuang untuk merebut kemerdekaan nyaris tidak ada perpecahan, meskipun jelas ada perbedaan paham. Namun setelah merdeka, timbul perpecahan dan ancaman separatisme. Begitu pula pada era reformasi ini, perbedaan dan perpecahan dalam kubu reformis itulah yang membuat reformasi tidak berlanjut. Ketika sesama reformis bertikai karena beda kepentingan, elemen-elemn statusquo yang memang masih kuat tampil kembali dan berhasil dengan gemilang.
Barometer kegagalan ini ditambah beberapa faktor seperti sebagaian mahasiswa yang dulu aktivis reformasi, masuk ke partai politik dan kemudian memasuki arena kekuasaan sudah jadi penempuh jalan pragmatis. Mereka sudah gendut dengan jas dan dasi, bermobil mewah dan bergaya bagai selebriti dan lupa kepada cita-cita reformasi. selanjutnya pertumbuhan ekonomi yang tak terlalu impresif serta kian menjamurnya korupsi dan tumpulnya institusi hukum, merusak legitimasi politik dan kesinambungan program-program reformasi, dan barangkali merusak demokrasi itu sendiri.
Kemudian pendidikan yang seharusnya melanjutkan gaung reformasi hanya hanya menambah tingginya gunung penganguran kaum terpelajar.
Temuan dari Indo Barometer seharusnya menjadi pemandu bagi pemerintah dan segenap elemen bangsa untuk memiliki perhatian yang lebih dalam untuk menyelesaikan persoalan – persoalan di era reformasi yang memang menjadi sorotan publik. Kesempatan ini seharusnya dimanfaatkan oleh semua pihak.
Karena jika persoalan- persoalan krusial tidak dapat ditangani dengan baik, bisa saja akan menjadi legitimasi bagi mereka yang mengidealkan pemerintahan Orde Baru yang telah dikoreksi bersama melalui reformasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H