Korupsi adalah sesuatu yang sangat merusak, jahat, dan memprihatinkan. Ketika membahas korupsi, kita seringkali menghadapi kenyataan yang menggambarkan hal tersebut karena korupsi berkaitan dengan berbagai aspek moral, sifat buruk, jabatan di lembaga atau pemerintah, penyalahgunaan kekuasaan dalam jabatan akibat suap, serta faktor ekonomi dan politik. Selain itu, korupsi juga melibatkan penempatan keluarga atau kelompok tertentu dalam posisi jabatan di bawah kekuasaan yang dimiliki. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa istilah korupsi memiliki makna yang sangat luas. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi terjadi secara terstruktur dan meluas. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara umum. Oleh karena itu, korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), yang memerlukan upaya pemberantasan dengan cara yang istimewa dan intensif.
Kasus yang mencuat di permukaan publik terkait dengan hukuman 6,5 (enak tahun, lima bulan) yang menjerat Harvey Moies melalui putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung. Sebelumnya, jaksa penuntut umum meminta agar suami aktris Sandra Dewi tersebut dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar, dengan ancaman hukuman penjara tambahan 1 tahun jika denda tersebut tidak dibayar.
Dengan kasus ini mendapatkan perhatian yang dilakukan dari berbagai kalangan termasuk presiden Prabowo Subianto dan masyarakat, hal ini dikarenakan putusan hakim yang 50% mendapatkan keriangan hukuman dengan kerugian negara sebesar 300 Triliun. Remisi merupakan pengurangan masa hukuman yang diberikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999, remisi adalah pengurangan masa hukuman yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah menunjukkan perilaku baik selama menjalani hukuman mereka.
Untuk memperoleh remisi, sesuai dengan ketentuan Pasal 34A, narapidana yang terlibat dalam tindak pidana khusus diwajibkan untuk berperan aktif dan memberikan kontribusi dalam mengungkap solusi dari kasus yang terkait dengan diri mereka. Selain itu, narapidana juga harus membayar uang ganti rugi dan denda kepada pengadilan sebagai akibat dari tindakan mereka yang merugikan keuangan negara (korupsi), sesuai dengan jumlah yang diputuskan oleh pengadilan. Narapidana juga harus mengikuti program pembinaan yang disediakan oleh masing-masing lembaga pemasyarakatan (lapas) sesuai dengan kebutuhan mereka, serta wajib mengucapkan sumpah ikrar untuk tidak mengulangi perbuatan melanggar hukum dan bersumpah setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kemudahan koruptor dalam mendapatkan remisi menjadi indikasi awal adanya masalah. Dugaan ini semakin diperkuat dengan maraknya praktik suap di dalam penjara. Secara sosiologis, perilaku koruptor bertentangan dengan fungsi hukum sebagai kontrol sosial, yang merupakan aspek normatif yuridis dalam kehidupan masyarakat. Hukum berperan dalam mendefinisikan tingkah laku yang menyimpang serta konsekuensinya, seperti larangan, perintah, pemidanaan, dan ganti rugi. Sebagai alat pengendalian sosial, hukum dianggap berfungsi untuk menetapkan mana perilaku yang baik dan buruk, serta memberikan sanksi kepada individu yang melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan hukum.
Vonis yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana korupsi sering kali tidak mencapai sasaran yang tepat. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan pemidanaan untuk menciptakan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Koruptor tidak akan merasa jera dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Kondisi ini juga mempengaruhi calon koruptor yang menjadikan remisi sebagai alat, karena dengan adanya remisi, kemungkinan untuk mendapatkan kebebasan lebih cepat dari tahanan semakin terbuka. Ini membuat calon koruptor merasa tidak ragu untuk melakukan korupsi, dengan mempertimbangkan keuntungan yang mereka peroleh. Situasi seperti ini menimbulkan kekhawatiran bahwa korupsi akan semakin meningkat dan sulit untuk diberantas.
Bahwa kejahatan korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang mana penanganannya juga diperlukan upaya yang lebih besar sehingga dengan pemberian remisi terhadap koruptor dikhawatirkan dijadikan alat untuk keluar dari hukuman lebih cepat dan dikhawatirkan pula menghilangkan efek jera padahal tujuan dari teori pemidanaan yaitu memberikan efek jera supaya pelaku kejahatan berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan tidak mengulangi melakukan tindak kejahatan.
Kemudian Prabowo Subianto juga mengatakan bahwa korupsi timah dengan hukuman tersebut, akan mengecewakan publik dan saat ini publik sudah mengetahui hukum maka, masyarakat akan mengkritik.  Hal ini mempertanyakan integritas seorang hakim dalam memberikan keadilan pada Harvey  kemudia juga Fenomena yang terjadi di pengadilan tindak pidana korupsi di negara ini menunjukkan banyak sekali ketidaklogisan dalam mempertimbangkan hal-hal yang meringankan hukuman dan keberpihakan terhadap pelaku. Terkesan bahwa pengadilan lebih menunjukkan simpati terhadap pelaku korupsi daripada kepada korban korupsi, yaitu masyarakat.
Beberapa alasan yang dianggap absurd untuk meringankan hukuman koruptor antara lain adalah sifat kedermawanan, adanya cercaan, hinaan, dan makian dari masyarakat terhadap pelaku, alasan terkait gender dan memiliki bayi, telah mengembalikan uang hasil korupsi, lanjut usia, serta sikap sopan yang ditunjukkan oleh pelaku.
Apa yang lebih membuat frustrasi adalah alasan yang digunakan untuk meringankan hukuman, seperti karena sikap sopan pelaku selama persidangan. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum terkadang lebih memihak pada mereka yang memiliki posisi atau status tertentu, daripada memberikan hukuman yang adil dan sesuai dengan kerugian yang dialami masyarakat. Sementara itu, rakyat biasa, yang sering kali tidak memiliki kekuatan atau akses seperti itu, sering kali dihukum dengan lebih keras meski mereka hanya terlibat dalam pelanggaran yang lebih kecil.
Kondisi ini menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam, dan berisiko merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Hukum seharusnya berpihak pada keadilan, bukan pada siapa yang lebih mampu untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi serius mengenai bagaimana hukuman untuk koruptor dijatuhkan, agar benar-benar menciptakan efek jera dan tidak merugikan rakyat yang sudah lama menderita akibat praktik korupsi.