Menurut data yang diterbitkan di Majalah Tempo Edisi 28 Januari 2019-03 Februari, mayoritas masyarakat di Indonesia akan cenderung patuh pada tokoh masyarakat yang memiliki profesi sebagai tokoh agama sebesar 51,7%. Sementara untuk profesi lainnya, rata-rata di bawah 15%. Artinya, mayoritas masyarakat Indonesia masih mengikuti saran yang dikatakan oleh para pemuka agama. Ketika saran dari pemuka agama tersebut cenderung intoleransi dan bersikap radikal, maka kecenderungan sikap masyarkat pun bisa sama.
Faktor kedua berasal dari eksternal suatu masyarakat. Namun menurut saya, bisa dikatakan faktor kedua ini adalah sebagai sebuah keadaan, yaitu kondisi perpolitikan. Seperti yang sudah diketahui secara umum, tahun 2019 merupakan tahun politik bagi Indonesia. Sebab pada tahun tersebut, Indonesia tengah mengadakan pemilihan umum presiden dan legislatif.
Namun yang harus disesalkan bagi saya, metode kampanye yang digunakan, baik oleh calon presiden dan legislatif. Terkadang cenderung menggunakan metode black campaign hingga negative campaign, seperti "bunuh-membunuh" karakter calon lain. Semoga saja tidak terjadi pembunuhan sungguhan dari pendukung masing-masing calon.
Dampak yang bisa muncul dari faktor tersebut adalah ketidakstabilan kondisi sosial masyarakat. Kondisi sosial disini seperti hilangnya rasa saling menghargai dan menghormati antar sesama manusia hingga konflik sosial seperti kerusuhan antar kelompok bisa terjadi di masyarakat.
Padahal, seperti yang sudah diketahui oleh banyak orang, orang Indonesia itu ramah-ramah, sopan santunnya terjaga, serta saling toleransi. Namun pandangan tersebut seperti menghilang bak kabut pagi yang muncul di pegunungan yang hilang ketika siang datang.
Meskipun memang, menurut data yang sama pada Majalah Tempo memaparkan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat pada para politisi hanya 11%, namun gempa sosial yang muncul akibat metode kampanye digunakan sangat besar. Lha kok bisa? Sebab ketika para politisi ini merangkul dan meminta para tokoh agama untuk menjadi "corong" dia kepada masyarakat, maka tingkat kepatuhannya pun berubah.
Efek dominonya ketika kondisi sosial tidak stabil adalah sulitnya mengembangkan perekonomian dan membahayakan keamanan negara. Mungkin bagi sebagian pembaca menganggap saya berlebihan. Namun tidak ada salahnya, jika saya berpikir lebih jauh lagi mengenai kondisi perpolitikan dan dampak sosial yang akan terjadi. Karena bagi saya, biaya untuk memperbaiki sosial itu sangat tinggi.
Mari kita pelajari bagaimana biaya sosial yang dikeluarkan oleh negara maupun masyarakat ketika reformasi 1998. Efek dari sikap rasis terhadap orang Tionghoa masih begitu terasa hingga sekarang. Oleh sebab itu, menurut saya, penting menjaga kedamaian sosial dalam berkampanye.
Kampanye yang baik adalah kampanye yang tidak menjatuhkan orang lain. Kampanye yang damai adalah kampanye yang tidak menyebarkan hoaks kepada para pendukungnya. Kampanye toleran adalah kampanye yang membawa pesan kedamaian atas nama kemanusiaan.
Dengan berkampanye secara damai dan santun, itu bisa mengurangi efek dari gempa sosial yang sudah saya sampaikan di awal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H