[caption id="attachment_381269" align="aligncenter" width="300" caption="www.cardus.ca"][/caption]
Ujian Nasional (UN) adalah suatu rutinitas tahunan yang harus dihadapi pelajar yang ingin melanjutkan program studi ke tingkat yang lebih tinggi. Proses pembelajaran selama tiga tahun bagi siswa SMP atau SMA dan enam tahun bagi siswa SD diketahui keberhasilannya melalui hasil UN masing-masing siswa. Bukan hal yang jarang bagi siswa menjadikan UN sebagai indikator yang harus dituntaskan dengan hasil yang baik.
Selain siswa yang secara langsung harus face to face pada UN, pihak orang tua dan sekolah menjadikan UN sebagai momok yang di wanti-wanti. Banyak orang tua dan guru memberikan suntikan kepada siswa agar mampu menyelesaikan UN dengan baik seperti memasukkan siswa ke private class pada bimbingan belajar di dalam ataupun di luar sekolah. Hal ini dilakukan agar siswa mampu memahami dengan baik semua materi sekolah dari semester awal hingga semester akhir menjelang UN.
Real action di lapangan banyak terlihat hal negatif yang ditimbulkan dari UN. Tidak sedikit orang tua dan sekolah khawatir anak atau anak didiknya tidak lulus UN. Kekhawatiran ini membuat orang tua dan sekolah menghalalkan segala cara agar siswa dapat lulus UN dengan hasil yang memuaskan. Kerja sama pihak sekolah, orang tua dan siswa dalam membocorkan soal ujian UN sering dilakukan dengan mengandalkan para ‘joki’ soal ujian yang tidak lain adalah para guru. Tingginya upah yang ditawarkan membuat para guru tidak segan-segan melakukan tindakan tercela ini bahkan hingga detik-detik terakhir UN dilakukan.
Fakta yang terjadi adalah munculnya pertanyaan mengenai keefektifan Ujian Nasional (UN). Ujian Nasional (UN) yang hanya dilakukan beberapa jam dalam kurun waktu tiga atau empat hari dijadikan indikator kelulusan seorang siswa yang telah mempelajari ilmu dalam beberapa tahun di sekolah. Fenomena ini menimbulkan perilaku tercela seperti membocorkan soal ujian.
Melihat dari dua sudut pandang tentang keefektifan UN yaitu tujuan dan proses dapat diambil beberapa poin penting. Berdasarkan tujuan, UN dikategorikan cukup efektif dalam menilai kemampuan siswa dalam menyelesaikan studi di sekolah dalam kurun waktu beberapa tahun. Namun dilihat dari proses, pelaksanaan UN dikategorikan tidak efektif. Hal ini terlihat dengan maraknya kecurangan yang terjadi sebelum dan ketika UN dilakukan.
Peningkatan standar mutu UN yang dilakukan tiap tahunnya tidak diikuti peningkatan mutu pendidikan baik dari segi pengajar, sarana, dan prasarana. Pelatihan para guru dan penyediaan sarana dan prasarana penunjang pendidikan belum mendukung sepenuhnya keberhasilan siswa dalam memahami pelajaran di sekolah. Hal ini berdampak pada nilai yang diperoleh siswa dalam penerimaan rapor tiap akhir semester. Keadaan yang kurang baik ini memerlukan suatu penilaian tambahan bagi siswa dalam mempelajari suatu pelajaran. Selama ini seorang siswa dikatakan berhasil dalam mempelajari suatu ilmu sekedar melihat nilai rapor.
Penilaian kognitif seobjektif mungkin perlu dilakukan pihak guru yang secara langsung berinteraksi dengan siswa tiap harinya. Penilaian dapat dilakukan dalam proses keseharian siswa dalam memahami suatu ilmu seperti cara belajar, bersikap kepada teman dan guru, keaktifan dan ketuntasan menyelesaikan tugas, rutinitas beribadah, dan cara menyikapi emosi (psikologis) dapat dijadikan poin penilaian kelulusan tersendiri bagi siswa.
Penilaian kelulusan seharusnya tidak dilakukan hanya dari nilai UN yang diperoleh siswa. Penilaian-penilaian lain yang telah disebutkan di atas setidaknya dapat menjadi pendukung yang turut membantu siswa dinyatakan lulus atau tidak dalam mengikuti pembelajaran selama di sekolah. Proses penilaian ini memerlukan kerja sama dari segala pihak baik dari pihak guru, orang tua, dan siswa itu sendiri. Jika hal ini dapat dilakukan dengan baik tanpa melupakan peningkatan pendidikan yang terus dilakukan maka Ujian Nasional dapat dikategorikan efektif untuk dilaksanakan dan secara tidak langsung akan mengurangi tindakan kecurangan yang selama ini acap kali terpublikasi di media massa.
Strategi ini sangat diperlukan agar output yang dihasilkan adalah siswa-siswa yang memiliki pendidikan berkarakter, pendidikan yang terarah secara sistematis berlandaskan agama dan pancasila. Siswa yang lulus bebas dari kecurangan dan dengan ini Kita mampu melepaskan label “Negara Berkembang” yang selama ini melekat pada Kita, Bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H