Mohon tunggu...
Abdy Busthan
Abdy Busthan Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis Pendidikan

Penulis, Peneliti dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korupsi dalam Kajian Psikoanalisis

24 Juli 2017   22:21 Diperbarui: 25 Juli 2017   01:38 1653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (smashingbuzz.com)

Isu tentang korupsi memang selalu menarik diperbincangkan, mengingat korupsi adalah salah satu bentuk patologi sosial yang selalu ada dalam setiap peradaban insan manusia. Tidak peduli peradaban kuno, modern atau pasca modern sekalipun, korupsi selalu hadir dan terkait dengan kepentingan banyak orang. Korupsi juga tidak mengenal status sosial maupun latar belakang keagamaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa sekarang ini korupsi sudah menjadi semacam agama baru. Hal lain yang juga menarik adalah korupsi bukan saja terjadi dalam institusi-institusi sekuler, melainkan juga dalam institusi keagaman.

Ternyata korupsi benar-benar tidak mengenal aliran keagamaan dan iman apapun. Kapanpun, siapapun, dan di mana saja hantu korupsi selalu siap mengerogoti martabat orang-orang yang konon disebut beriman. Di dunia politik apalagi. Ada tendensi, korupsi sudah menjadi 'program utama' partai, maupun pelaku politik. Praktek korupsi juga sudah menjadi semacam pekerjaan pokok para pejabat mulai dari pusat sampai desa-desa di seluruh wilayah negeri ini.

Di era otonomi saat ini, korupsi telah berpindah situs, dari Jakarta ke daerah-daerah, walaupun, Jakarta masih menjadi top scorer terbesar di negeri ini. Pertanyaan yang menggelitik untuk dicermati adalah, mengapa korupsi tidak bisa lenyap, bahkan semakin menggila? Mengapa Persepsi Indeks Korupsi Indonesia belum memperlihatkan perkembangan yang signifikan? Untuk membantu menjawab kedua pertanyaan dasar tersebut, maka saya mencoba menguraikan persoalan dasar yang dapat mememicu seseorang melakukan tindakan korupsi, terlepas dari apapun jabatan atau iman yang disandangnya. Pendekatan yang akan saya gunakan untuk menjelaskan hal ini adalah pendekatan psikologi, terutama psikoanalisis yang berbasis pada Freudian Theory yang digagas Sigmund Freud.

POKOK-POKOK PIKIRAN PSIKOANALISIS SIGMUN FREUD

Tokoh yang berjasa dalam meletakan landasan psikoanalis adalah Sigmund Freud. Psikoanalisis Freud lebih ditekankan pada soal pentingnya perkembangan masa kanak-kanak seseorang. Menurut Freud, masa kanak-kanak sangat memegang peran menentukan dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku individu manusia ketika dewasa kelak. Dengan kata lain, perkembangan pada masa kanak-kanak akan sangat menentukan kepribadian seseorang kelak menjadi dewasa. 

Bagi Freud, kepribadian manusia dibangun atas tiga pilar utama yaitu ID, EGO dan SUPER EGO. Perkembangan ketiga pilar kepribadian manusia ini berlangsung dalam lima fase yaitu: FASE ORAL (usia 0-1 tahun), FASE ANAL (usiA 15 bulan sampai 2 tahun), FASE PHALIC (usia 3-6 tahun), FASE LATEN (usia 6-12 tahun) dan FASE GENITAL (usia 12 tahun).

Pada FASE ORAL, manusia menggunakan mulutnya untuk merasakan kenikmatan. Seorang bayi pada tahapan ini selalu memasukkan ke mulutnya setiap benda yang dipegangnya untuk merasakan kenikmatan. Pada FASE ANAL, seorang anak akan memperoleh kenikmatan ketika ia mengeluarkan sesuatu dari anusnya. Anak menyukai melihat tumpukan kotorannya. Pada tahapan ini anak dapat berlama-lama dalam toilet. Pada tahapan ini, orang tua dapat memainkan perannya melalui apa yang disebut "toilet training". 

Orang tua dapat melakukan fungsi kontrol agar anak dapat menahan hasratnya untuk berlama-lama memperoleh kenikmatan di toilet. FASE PHALIC adalah fase ketiga. Anak pada fase ini, cenderung memperoleh kenikmatan dengan mempermainkan kelaminnya. Pada FASE LATEN, anak mulai melupakan tahapan memperoleh kenikmatan karena sudah memasuki usia sekolah. Anak mempunyai teman dan permainan baru. Fase ke lima adalah GENITAL. Pada tahapan inilah perkembangan menuju kedewasaan mencapai puncaknya.

Tahap-tahap perkembangan kepribadian tidak dengan sendirinya berjalan mulus untuk setiap anak. Bisa saja terjadi, seorang anak akan terhambat dalam perkembangan kepribadiannya. Usia bertambah tapi kepribadiannya masih dalam tahap perkembangan dini. Freud menyebutnya FIKSASI. Penyebabnya beragam, bisa karena orang tua, lingkungan sosial, atau konflik mental. 

Lantas, apa relevansinya dengan perilaku korupsi?

Gambaran Freud di atas menunjukan bahwa, pada dasarnya manusia adalah makluk yang selalu gandrung dan suka mencari kenikmatan, sekaligus suka menghindari penderitaan. Korupsi adalah godaan kenikmatan terbesar selain perselingkuhan. Ini dapat dimengerti sebab semua tahapan perkembangan kepribadian dalam psikoanalisis Freud menunjukkan bahwa manusia selalu bermain-main dengan kenikmatan meski itu kotor sekalipun. Perkembangan kepribadian yang gagal pada waktu masa kanak-kanak, akan menyebabkan orang lebih mudah tergoda melihat setumpuk uang meskipun uang itu milik orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun