Kita bisa lihat bahwa pada tahun 2018 -- 2019, terjadi penurunan jumlah kunjungan wisatawan di kawasan wisata Hiu Paus di Teluk Cendrawasih, yang disebabkan selain masalah aksessibilitas dari Kota Nabire ke Kwatisore, juga masih adanya pungutan-pungutan dari masyarakat setempat yang dianggap memberatkan para wisatawan atau operator pariwisata sehingga berpengaruh terhadap kenyamanan para wisatawan di lokasi wisata tersebut.
Tentu hal ini perlu campur tangan Pemerintah Daerah sebagai pembina masyarakat, agar dapat ikut memperbaiki tata kelola wisita di tingkat kampung, misalnya dengan memfasilitasi membuat peraturan kampung berkaitan dengan retribusi atau lewat Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) sehingga nantinya akan memberikan manfaat baik kepada pihak pemerintah dan masyarakat secara khusus, dan terpenting adalah secara berkesinambungan.
Saya pikir terobosan atau inovasi baru yang berani agar terjadi perubahan yang cepat di tingkat akar rumput, dalam hal ini masyarakat Nabire, memang membutuhkan pemimpin daerah yang kreatif dan inovatif. Dalam hal ini Kepala Daerah harus lebih pro-aktif, misalnya dengan 'menjemput' turis (manca negara dan domestik) di Bali, Yogya dan Jakarta dan kota-kota di Tanah Papua. Selain itu, ke depannya harus membuka penerbangan penerbangan langsung Denpasar/Yogya/Jakarta, Makassar, ataupun Sorong -- Nabire PP secara bertahap.
Di samping itu, peran utama yang dimainkan oleh Pemerintah Daerah juga dibutuhkan dalam memfasilitasi penyiapan modal atau kredit untuk rakyat dalam membuat "Homestay" di kampung.
Sebagai asumsi dan simulasi, misalnya terdapat 400 rumah tangga di Nabire yang terlibat dalam bisnis pariwisata dengan membuat Homestay di mana-mana. Dan masing-masing terdiri 4 kamar. Satu kamar dihargai Rp 300.000 per hari dengan tingkat hunian (Occupancy rate) nya 0,7, maka berarti dalam satu tahun saja terdapat dana yang beredar di masyarakat paling sedikit Rp120 Milyar, Ini belum termasuk bisnis warung/rumah makan, air mineral, mobil sewa, pramuwisata, ukiran, seni tarian dan lainnya.
Jadi, sampai sini kita bisa sepakat bersama bahwa sektor wisata merupakan sektor yang memiliki efek pengganda (multiplayer effect) yang besar terhadap kegaiatan-kegiatan ekonomi lainnya.
Berdasarkan asumsi jumlah uang yang beredar di masyarakat dari aktivitas tersebut, jika dikalikan dua saja, berarti dari sektor pengembangan pariwisata memungkinkan akan menghasilkan sekitar Rp 240 Milyar yang langsung beredar di masyarakat. Jumlah Rp 240 Milyar ini jauh lebih besar dari PAD Kabupaten Nabire yang hanya sekitar Rp 40-an Milyar atau kurang lebih 1/3 dari total APBD Kab. Nabire, sebesar Rp 1. 3 Trilyun.
Nah, dengan Jumlah 400 rumah tangga yang memiliki Homestay dengan 4 kamar rata-rata itu sama dengan kurang lebih ada 2.000 orang wisatawan (manca negara dan domsetik) setiap hari di Nabire. Apakah angka ini tidak realistis?Â
Sebaliknya, sangat realistis sebagai perbandingan total wisatawan ke Bali tahun 2019 yaitu 6.275.210 orang. Apa artinya? Artinya bahwa Pemerintah Daerah kabupaten Nabire harus cerdas dan berani untuk melakukan terobosan baru dengan cara mengarahkan 2.000 orang dari jumlah sebanyak itu setiap 4 (empat) hari ke Nabire, tentu dengan pro-aktif menjual potensi pariwisata Nabire, baik di dalam negeri dan luar negeri di pusat-pusat destinasi wisata di Indonesia (seperti: Bali, Yogya, Jakarta, dll).
Sobat, mungkin masih banyak lagi yang ingin saya ulas di sini. Namun kita terbatas oleh ruang, jarak dan rindu...hehe.. jadi bisa kita diskusikan dalam suasana ngopi bareng.
Salam, Wassalam ..Hormat di bri