Mohon tunggu...
Abdul Azis
Abdul Azis Mohon Tunggu... Seniman - Belajar menulis

Mencoba belajar dengan hati-hati, seorang yang berkecimpung di beberapa seni, Tari (kuda lumping), tetaer, sastra.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Duhai, Kau yang Dipuja Purnama

6 Juni 2021   06:30 Diperbarui: 6 Juni 2021   06:46 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Duhai yang Dipuja Purnama. Oleh : Melda Agustina (Adik Abdul Azis Le Putra Marsyah)

Tidak ada kemungkinan yang coba aku bahasa-kan untuk meninggalkanmu. Yang ada hanya usaha membangun jarak. Harapanku adalah kita makin memahami arti kebersamaan. Mungkin itu kesalahan terberat yang pernah aku lakukan padamu; tidak membicarakan sebelumnya. Hingga akhirnya lahir salah paham. Yang membuat kita benar-benar berpisah.

Sungguh aku sendiri tidak begitu meyakini dirimu. Tidak begitu bangga akan pencapaian. Atau segala bentuknya yang lahir dari pola pikir. Ketegasan itu rendah. Komitmen selalu aku curigai. Maaf untuk itu.

Ini bukan sebuah pengakuan diri atau sebuah usaha untuk membawamu kembali. Hanya bisa berusaha sebaik mungkin. Agar kelak tak begitu banyak hal yang mungkin bisa menyakitimu. Karena untuk lepas dari kesalahan seperti begitu mustahil. Sekali lagi maafkan atas lemahnya diri ini.

Ada suatu masa dimana senja menjadi ranum tanpa aku menyadarinya. Setangkai bunga yang aku titip pada ombak-ombak, ternyata dibawa kembali ke pinggir tanggul. Pernah aku menyimbolkan bunga itu sebagai cinta yang utuh. Lalu aku mencoba menutupnya ke lautan untuk dibawa pergi mengembara. Namun itu hanya simbolik. Yang ada hanya menyeruaknya rasa-rasa yang bercampur aduk lalu membuatku tertunduk lesu.

Begitu susahnya melepas engkau dan cinta yang mendampinginya. Pada senyum dan sikap riang yang selalu aku gambarkan sebagai keanggunan.

Duhai yang dipuja purnama nun tertutup gelap purnama. Yang membuat iri angin mamiri. Tetaplah cantik dan indah. Rinduku masih berselimut kabut di antara pohon Pinus di blantaran sungai brantas pada sore hari . Dan namamu masih terukir di sisinya. Menjadi awal dan akhir dari pengalaman panjang tentang romansa.

Duduklah cantik seperti pada gambar di dompetku. Tersenyumlah manis seperti gambaran ingatanku tentangmu. Dan teruslah baik hati pada siapapun. Untukmu, separauh diri telah bersamamu.

Kediri, 26 Mei 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun