Menjadi bunga-bunga yang kemudian membangunkanku dari tidur panjang yang meresahakan. Menjadi melati yang menyeruak keharuman serata jagad kesadaranku. Aku kemudian engkau buai pada syahdu kembiraan malam yang penuh intrik akan sejuta keriangan pemuda-pemudi. Riak wajah itu kemudian tenggelam pada kemintang yang begitu jauh di angkasa. Kemudian kita seperti kapas-kapas lembut menemani riang gembira si kecil.
Sudah bertahun dan terus berkontemplasi pada kesenjangan yang runut membangun sebuah cita dan rencana-rencana. Semoga engkau menjadi sesuatu yang kemudian bisa membawa kegembiraan yang hakiki. Dan tolong aku dalam diamnya masa-masa itu. Era baru dan mari berjalan bergandengan menuju danau keindahan itu.
Ada burung-burung kecil mencuit. Ada juga secercah harapan yang coba tumbuh. Tunjukan jalannya. Sinari dengan keilhaman yang Rahma. Dan semoga pelita itu tetap menyala sebagai pembimbing. Kemudian mari diamkan, endapkan dengan sejuta makna. Dan jika kembali, maka temani aku.
Setahun berlalu dan engkau masih sama. Tetap seperti dengan senyum wanita yang tidak pernah lelah untuk berbahagia. Hanya saja, kadang itu menjadi bagian tersenjang tersendiri. Dan entah mengapa, ia lebih sering memilih untuk menyembunyikannya padaku. Mungkin karena ia kuat dan terlalu peduli akan sebuah kehikmatan yang ada di sekitarnya. Doa terbaik untukmu.
Lalu stigma dan kemudian terkonjuksi fasif. Dan kemudian lagi ia menjadi kontradiksi aktif yang  dikonsumsi begitu dini. Mungkin rumit atau sulit memahaminya sebagai sebuah stansasi dari kelompok nada yang nyaman di resapi.
Apa kau juga ingin menjadi Melati, Nona?
Kediri, 23 November 2020
Buah Karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H