Kali ini aku dan malam sepakat menemani trotoar jalan samping toko ini. Bukan perihal rindu atau segala sesuatu yang menghendaki untuk menemuimu. Tapi inilah aku, yang selalu ingin melihat langkahmu di sebelah kanan persimpangan jalan kota.
Tak seperti laki-laki lain yang selalu bergairah memberi kejutan untuk sang kekasih di malam minggu. bergandengan tangan ke kafe merawat rindu di atas meja perjamuan malam. Ah Nona manise, aku lebih memilih Minggu malam yang tidak sama sekali sedikitpun menawarkan romansa cinta. Hanya untuk menikmati ayunan kakimu di atas laju waktu.
Aneh bukan? tapi inilah aku yang lebih memilih terotoar jalan kota sebagai teman untuk berbincang. Perihal dirimu yang setiap malam melangkah dan hanya melemparkan senyum pada lelaki lain.
Jika malam ini ada keanehan pada diriku perihal menantimu. Maka, jangan tanyakan langsung pada waktu ataukan diriku. Tapi, tanyakan saja pada trotiar jalan itu, dia yang selalu membisu ketika mendengar aku selalu setia menghitung laju waktu untuk memastikan kapan kau tiba untuk melemparkan senyum.
Larut malam semakin melarat, Nona manise. Demikian juga jam yang selalu berganti rupa angkanya. Pena dan selembar kertas falio yang ku bawa pun kini semakin kusam di rundunh embun.
Abjad Yang bercerita tentang malam itu perlahan memudar bersama laju waktu. Lalu aku kembali bersama tukang gojek pesananku, membawa imajinasi dan kenyataan. Bahwa aku hanya sedang menikmati kopi pahit sendiri di atas meja samping trotoar.
Mingguku semu karenamu. Kapan kau mau mengerti perasaan ini, Nona manise?
Kediri, 22 November 2020
Buah Karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H