Gelap matamu dan putih tulangmu. Langkah gontai memikul sebuah cangkul tua yang sepertinya menjadi favorit tersendiri. Sesekali engkau mencoba memperbaiki letaknya di Unggung.
 Dan terus berjalan melewati pematang-pematang sawah yang licin karena telah dibersihkan rumput yang sempat tumbuh dan karena air meluap melewatinya. Petak-petak sawah bagai kolam-kolam yang tampak luas membentang kesegala penjuru.
 Setelah engkau melewati sebuah salauran irigasi yang baru saja di tembok beberapa Minggu lalu, engkau akan menemukan sebuah jalan setapak yang biasa di lalui kuda-kuda pengangkut gabah. Sebenarnya, itu juga bagian dari pematang sawah, hanya saja lebih lebar dan agak kuat. Sengaja demikian, agar bisa menahan air dan lumpur. Karena di bagian itu akan ada terasiring.
Jika melewati dan sampai di ujung dengan panjang kurang lebih seratus meter. Ada rumah-rumah panggung, milikmu. Tempat dimana biasanya beristirahat, petani-petani di sekitar dan engkau juga.
Sebelum malam datang menyelimuti, lalu gelap itu membungkus. Dan sulu-sulu di nyalakan, nampak keriakan pada senyum segar bocah-bocah yang akan menuju rumah guru mengaji mereka. Dilema termisteri adalah kapan listrik akan mulai masuk ke kampung ini. Katamu, pada warga desa. Ini akan mengalami kerumitan. Karena beberapa alat belum sampai.
Janji itu adalah empat tahun yang lalu saat beberapa aparatur desa datang mengsosalisasikan rencana tersebut. Sebenarnya, tidak ada penolakan. Tapi, yang sedikit dirisaukan adalah akan seperti apa dan bagaimana prosedurnya.
Hari berganti burung-burung kembali ke sarangnya. Lelahku adalah riak kecintaanku padamu. Berseri rona mentari di ufuk timur. Ayam jantan berkokok pagi-pagi. Masih ragu dan rumit aku memahami keputusanmu. Sering aku memerhatikan helai demi helai daun rerumputan di pagi hari yang menyeruakkan kesejukan. Tali sepatuku basah dan serasa malas untuk mengganti atau mengeringkannya.
 Pikirku akan baik-baik saja, setelah aku pakai untuk olahraga. Senam jasmani, bagai tarian idol K-Pop. Aku senang jika hari itu tiba. Hari dimana senam pagi akan di laksanakan. Gerak tubuh mengikuti alunan lagu. Saat itu, di bangku sekolah. Sering sekali aku berdiam diri. Mencoba memerhatikan beberapa hal yang menarik bagiku.
 Sesuatu yang kemudian mengantarkan aku pada pertemuan-perte
muan yang kadang aku sendiri sulit menerjemahkannya dalam aksara. Termasuk aku dan kisah yang coba kita rangkai dalam harapan-harapan tentang kearifan serta kebaikan. Tapi apa daya, kita harus berpisah dan tinggallah kenangan yang kemudian menemani untuk kemudian bertemu dengan kisah-kisah lainnya. Ia bagai kupu-kupu abu-abu yang hinggap di topi jerami milik petani.
Ada semilir angin membelai wajah kering yang terciprat lumpur. Musim garap yang kadang mendatangkan berbagai tantangan tersendiri. Dan manajemen pengelolaan lahan selalu harus di aplikasikan dengan hati-hati. Beberapa anak kecil berlari di tengah sawah, mereka eolah berlomba menuju pematang. Tidak begitu yakin bisa, tapi tetap saja mereka melakukannya.
Lumpur menenggelamkan kaki hingga ke lutut. Dan butuh beberapa ide tersendiri untuk bisa berlari lalu memenangkan lomba. Kemenangan adalah kebahagiaan lainnya. Suka cita akan di rayakan di parit-parit yang mulai di aliri air. Dan setelah itu, ubi goreng, jagung olahan, dan mungkin sambel pete buatan ibu telah menanti.