Serabut kabut di ufuk ubur mahkota paling subur telah kau hadirkan
Aku yang tertata piluh di sudut rahim yang tertindas kau perjuangkan
Pecah seluruh tampungan darah yang berserakan di kasur-kasur sampai pada pintu kepulangan
Basah seluruh badan menahan sakit yang tak biasa
Bisa-bisanya masih saja kau tersenyum seolah tak berdarah
Ibu
Ladang yang hadir begitu kokoh dalam memupuk segumpal rindu untuk kasih menyunyah di sepanjang kehidupan
Agar tetap hidup dalam purnama yang lebih kejam sekalipun
Tak sampai kering di lubuk kerongkong yang begitu kejam saat panas merajalelah di atap kewajiban
Sungguh aku berhutang gunung padamu
Ibu
Kota dengan seribu nama di dadanya
Berlaku sepanjang air yang terus mengalir dalam tumpahan iklhas
Terkuras pada jantung yang begitu tabah merawat sang kasih dengan sejuta gelisah di waktu-waktu menjerit mematahkan antara tulang belulang dengan rongga mulut
oh, ibu
Juang yang tak lelah dari musim melawan maut
Dari vaksin pada kematian
Seribuh tutur telah dipanjatkan
Maka jangan sekali-kali resah tentang ketakutan
Bahagialah dalam pelukan Tuhan
Ibu
Darah segar terus meloncat pada nadi yang tergerus menipis di pipi
Namun ibu tetap berlaku palsu di depan kedua bola mataku
Jahatmu telah membawahku pada kehangatan cinta yang sejujurnya
Sakitmu telah mengajarkanku lekas yang sesungguhnya
Tersenyumlah engkau di Surga, ibu
Kediri, 10 November 2020
Buah Karya: Abdul Azis 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H