"Nak, bila suatu hari nanti aku tiba di pintu jalanku untuk menjelang pulang. Aku harap dadaku ini kalian dekap, bisikan sesuatu tentang indahnya perjalanan menuju ke tempat itu. Karena untuk meraba dalam kegelapan, aku membutuhkan tuntunan dan lantunan. Selagi aku masih ada sekarang, manfaatkan untuk biaya hidupmu, karena bila nanti aku sudah tersamar oleh dunia keabadian, maka tak kan bisa lagi aku berdaya."
"Nak, Cukupkan saja jangan melebihkan. Tentang elok dunia itu, tak akan mampu mendampingi paras kalian kelak di hadapan-Nya."
"Nak, usah diseka air mata, biarlah ia kelak menjadi saksi. Betapa keinginan untuk berdaya menuju arah jalan-Nya, sangat membutuhkan air mata ini jatuh."
Surat Rindu Teruntuk Ayah di Surga
____________
Yah, Kerinduanku padamu kini semakin nyata. Lalu memeluk siapa? Aku harus mencium tangan kasar siapa?
Yah, aku rindu tamparan tanganmu di pipiku. Aku semakin nakal yah, perihal sering lupanya aku mengirimkan do'a untukmu. Aku lebih mendahului doa teruntuk dia agar cepat tidur. Tampar aku sekali lagi ayah.
Ayah, engkau pasti tau akhir-akhir ini aku bagaimana. Dari surga kau dan bunda pasti menangis kan? Karena lemahnya aku di sini untuk menghadapi ini semua.
Berat beban yang harus aku tanggung, belum seberat apa yang kau lakukan untuk mendidikku. Aku sadar ayah, aku masih lemah. Â Meski di depan mereka aku ketawa ketiwi seperti tidak ada beban.
Ayah, mintalah izin kepada Tuhan agar kau bisa kembali disini bersama bunda. Aku ingin bersandar di pundakmu ayah. Aku ingin kau elus rambutku seperti aku berumur 4 tahun. Dan aku ingin dimasakan sama bunda. Kita makan bersama di ruang tamu sambil bercanda ria.
Ayah, pulanglah.
Aku rindu
Ayah
Berat
Hidupku.
Kediri, 07 November 2020
Buah Karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H