Irama genderang perang kata, terkadang lebih menyayat. Ketimbang peluru para serdadu yang diarahkan menjaga keamanan dengan bayaran yang begitu mahal. Dan, bahasa hati mulai direnggut emosi.
_______________________
Kita yang pernah saling menaruh rasa kagum, mulai memberi jeda untuk saling merayu. Kita yang kemarin masih terpikat oleh getaran hati, kini mulai menampakan kekesalan. Adalah kita yang tak mudah menerima kenyataan terjadi. Adalah kita yang tak menyangka, kalau badai kecewa telah berlabuh di hati dua sepasang serasi.
Pelan-pelan jeda komunikasi mulai berubah tak seperti biasanya. Kau yang sehelumnya sering memberi kabar tanpa henti, sudah mencium segala perkataanku hingga terlelap dalam ranjang emosi. Posisiku sudah kau mendengar dengan samar, kalau aku adalah sosok misterius yang sulit ditebak. Dan, tak ada henti kau terus mencari tahu. Sampai, setiap kolom maya yang tertera tentangku, kau beranikan diri untuk memeriksa satu persatu.
Hadirku di bentangan jarak bukan untuk melayangkan kecewa. Kenyamanan yang tercipta bukan sebatas ruang sandiwara. Tapi, semua yang kulakukan adalah berdasarkan ketulusan. Semua yang diutarakan adalah perintah nurani. Bukan karena untuk melampiasian rasa. Bukan untuk memenuhi hasrat dan nafsu belaka. Apakah kau masih menaruh pandangan miring untuk memberi penilain tentang diriku?
Jangan kau mudah terpancing lantaran kecewa. Drama antara jarak masih terus berlanjut. Aku hadir bukan untuk sementara waktu. Tapi, aku berlabuh untuk bertahan selamanya tepat di nadimu. Dan, aku memelukmu dengan damai tanpa harus berpura-pura mengobral rasa dan kuasa hati. Bukankah atas dasar jeda rindu kita ingin bertemu? Kenapa semudah itu kau memilih menyerah?
Kau adalah perempuan peradaban dari ibu rahim purba.
 Sedangkan aku adalah anak kandung ayah perang sengit bermata tajam. Antara kau dan aku, sedang dihantui oleh gelora yang sama. Antara kau dan aku, kita sama-sama menyimpan harapan. Atau kau menarik kembali segala kata-bahasa yang sudah terlanjur diutarakan?
Harapku "Kau tak perlu menarik semua yang pernah diungkapkan. Jangan kau ungkit segal yang terjadi. Aku tahu jalan pulang untuk kita sama-sama bertahan."
Di putaran waktu yang paling tepat, kau menyandarkan penat di bahuku. Di detik yang paling tegang, kau basuh aku dengan kelembutan. Kau dan aku sampai lupa diri. Kalau, kita ditenggelamkan oleh gelombag cinta. Dan, kita terhempas arus rasa membawa jauh ke pulau rahasia. Apakah kau takut kesasar? Atau kau ragu tentang diriku?
Arah pandangan kita terus bergelora. Keyakinan kian berdamai tanpa memberi pertimbangan yang matang. Hingga kau dan aku sepakat berteduh di dalam satu rumah. Kita akan bermukim di teras bahagia. Sambil menceritakan kisah yang menggugah. Kemudian, aku memilih jadi pendengar yang baik untuk kau lantunkan ayat-ayat rasa.
Kau kirimkan aku segudang untain kecewa. Lantaran, aku tak mengungkap posisiku sebelumnya. Kau hujat aku dengan bahasa yang paling menyayat.Ketika kau menglarai kata dengan judul "Ketika Aku Dipinang Kematian".
 Kau tampar aku dengan emosi yang tak terkentrol. Sampai, aku harus mendengar dan coba menangkan amarahmu "Kenapa tak jujur dari awal? ternyata, hadirmu hanya mengukir kecewa. Kau tak beda jauh dengan para serdadu perang yang suka menembak dada saudaranya. Kau adalah peluru yang menghunus jiwaku."
Aku kaget membaca dengan teliti. Kuanalisis dengan damai untaian kata-katamu. Kulayangkan maaf, tapi kau tak menggubris. Kusirami bahasa teduh, tapi tetap saja kau tak memilih berdamai. Malah kau katakan dengan terbuka
 "Aku hanyalah pengagum rahasiamu yang memilih bersembunyi dibalik kamar duka. Aku adalah darah kecewa yang terus mengalir tanpa henti setiap hembusan angin derita yang kuhirup."
Tenangkan dirimu wahai perempuan berkalung rantai budaya. Ikatlah aku dengan bahasa budayamu. Jangan pernah kau mengutuk diriku yang sedang mencari jalan pulang memelukmu. Aku tahu, bahasa kutukanmu tetap nyata. Maka, aku harap kau tak layangkan sumpah-serapah.