PETUAH DI BUMI AIR MATA
____________
Gelang persahabatan akan terus melilit rapi. Dari setiap yang hadir dan pergi selalu ditata dalam aksara bernyawa. Dan, semesta ikut serta dalam ukiran pena yang terus menumpuk di atas kertas putih.
Untukmu yang sudah menyodorkan kepercayaan. Aku belum bisa menggantikan harapan dengan doa yang sering kau lantunkan. Aku masih menunggu waktu untuk bisa berdamai dengan memori kelahiran, kematian, dan pembuktian.
Padamu yang masih menaruh percaya, aku hanya bisa berkata "Api kemerdekaan yang kau wariskan terus kunyalakan memecahkan keheningan. Bara petuahmu tetap mendampingi raga melangkah di tanah gersang. Lantunan syairmu menjadi kiblat sebagai orang merdeka di bumi air mata."
Demi waktu yang tak menentu. Aku tetap riang gembira dari kilauan serangan. Sorot mata tak pernah sayu biar peluru menembus relung dada. Sebab, di dalam dada terpahat ukiran emas yang tak mudah rapuh yang dititipkan turun-temurun.
Untuk sebuah penghormatan, maka eja menari di malam Jum'at pukul dua puluh satu lewat lima puluh sembilan dengan tumpukan rasa. Sunyi mendekam coba diusir pergi oleh angin ribut kemacetan kota.
Untuk tubuh yang lagi berbaring, tetaplah berada di sampingku mencari sulu juang yang sedang berkumandang. Mari kita rajut dua perbedaan dalam satu kekuatan yang tak bisa dipatahkan. Kekuatan cinta warisan leluhur. Dan, mutiara wasiat yang terus merontah.
Apakah kau pun masih berkomitmen dengan bahasa awalmu? Apakah hatimu lebih teguh setelah melewati ragam cobaan? Jangan kau jawab sekarang, karena kau dan aku bukan tempat menumpang segala tanya dan menyemprot segala jawaban. Kitalah orang merdeka yang tak mudah tunduk pada tawaranÂ
Kediri, 30 Oktober 2020
Buah Karya: Le Putra Marsyah